Judul Buku : Rule of Thirds
Penulis : Suarcani
Penerbit : Gramedia Pustaka Utama
Cetakan : Cetakan Ke-1
Tahun Terbit : 2016
Halaman : 280 Halaman
ISBN : 978-602-03-3475-2
Harga : Rp. 57.800,- (sebelum diskon di http://www.gramedia.com/conf-metropop-rule-of-thirds.html)
My Rating : 4 / 5 Bintang
****
[Resensi]
“… saya merasa foto itu sebagai
mata kedua, yang memberi saya pemahaman lain ketika mata sendiri tidak cukup
mampu mengenali keindahan dunia secara langsung. Mungkin berlebihan, tapi
dengan foto saya bisa lebih menghargai alam, waktu, dan keadaan.” (Ladys - Hal. 129)
Ladys
Cantika adalah seorang fotografer fashion
di Seoul – Korea Selatan, yang akhirnya memutuskan untuk pulang ke tanah
kelahirannya di Bali agar dapat lebih dekat dengan pujaan hatinya, yaitu Esa. Selama
di Bali, Ladys hidup seorang diri dan bekerja sebagai fotografer Wedding di studio milik kerabatnya, yaitu Om Agung, itu
adalah konsekuensi yang harus diterimanya karena ayahnya masih memendam trauma
terhadap Bali sehingga memutuskan untuk tetap tinggal di Seoul. Ladys menyukai
bunga melati, dan terobsesi dengan jasmine
tea.
Pranadias
Putra alias Dias adalah seorang asisten fotografer yang memiliki sifat pendiam,
sekalipun Dias hanya seorang asisten fotografer tetapi sebenarnya, kemampuan
yang dimilikinya sudah setara dengan kemampuan fotografer handal, hanya saja
nasib memang belum berpihak terhadap dirinya. Dias belum mampu untuk membeli
kamera sendiri karena harus menjadi tulang punggung keluarga. Berbeda dengan
Ladys, Dias menyukai apel Fuji, dan selalu memakan buah apel jenis ini, sudah seperti
makanan pokok untuk dirinya.
Sejak
Ladys bekerja di tempat Om Agung, Dias menjadi asisten sekaligus sopirnya.
Kesan pertama yang diberikan Dias terhadap Ladys pun tidak terlalu baik,
sehingga sejak awal hubungan antara keduanya sudah memasuki fase kritis dan
diliputi ketegangan.
“Apakah
studionya jauh dari sini?”
“Hmm….”
“Apa artinya
‘hmm’ …?”
Dia menoleh.
Tatapannya tajam sekilas lalu beralih pada jalanan. (Hal. 21)
Hari
pertama bekerja, Ladys melakukan pemotretan pre-wedding
di Pantai Suluban bersama pasangan Amanda dan Damar. Sejak kejadian percakapan di
mobil bersama Dias, Ladys memang menjadi lebih sensitif, dan kesal dengan
asistennya itu, ditambah selama pemotretan Dias beberapa kali mengomentari pengambilan
gambar yang dilakukan oleh Ladys. Selain dipusingkan oleh tingkah laku Dias,
Ladys juga ternyata harus menghadapi sebuah kenyataan pahit bahwa Esa yang
merupakan kekasihnya telah berselingkuh. Ia memergoki Esa di pantai tersebut.
“… Tatapan saya
lekat pada sang lelaki yang kini tengah tersenyum pada perempuan di hadapannya.
Esa. Esa yang mencium saya tadi pagi. Esa, lelaki yang menjadi tujuan saya
pindah ke Bali. Fokus saya yang mulai berbayang karena genangan air mata lalu
pindah ke meja, tempat tangannya sedang memeras tangan perempuan itu. Saya
tidak sedang berhalusinasi, dia … dia mengkhianati saya.”(Hal. 35)
Bagaimana Ladys akan bertahan di Bali?
Sedangkan orang yang menjadi tujuannya pindah ke Bali telah berkhianat. Selain
itu, ternyata Esa lebih memilih perempuan tersebut dari pada Ladys. Apalagi
yang paling menyakitkan dalam penghianatan selain menjadi yang tidak terpilih?
****
Rule
of Thirds adalah novel karya Suarcani yang pertama kali saya baca :D hehehe .
Sejujurnya, saya jatuh cinta dengan cover
depan novel ini, melihat cover nya
langsung membuat saya ingin membaca novelnya, cover-nya itu sederhana tapi cantik banget. :’))
Rule
of Thirds merupakan novel fiksi yang bergenre romance. Wuaah, tapi tenang saja, bukan romance yang hanya berpusat pada dua orang saja, tapi justru cerita
ini lebih kompleks daripada kelihatannya. Novel ini juga membahas hubungan
cinta di dalam keluarga masing-masing tokoh utama, antara suami dengan istri,
antara anak dengan ibu, antara anak dengan bapak, serta antara kakak dengan adiknya. Terdengar kompleks bukan? Tetapi tenang saja,
tidak sampai membuat pembaca sakit kepala, karena cerita disampaikan dengan
alur yang cepat, jelas, dan tegas.
Penulis
menggunakan alur maju, hanya sedikit
menggunakan alur mundur, itu pun untuk keperluan flashback cerita sebagai pelengkap bagian cerita dan juga untuk
memperkuat karakter tokoh-tokohnya. Sudut
pandang yang digunakan oleh penulis yaitu dua sudut pandang orang pertama
berdasarkan tokoh utamanya. Satu dari sudut pandang Ladys dengan kata “saya”,
dan satu lagi dari sudut pandang Dias dengan kata “aku”. Jenis sudut pandang
ini membuat pembaca dapat lebih mengenal dan merasakan emosi dari masing-masing
tokoh utamanya. Pembaca tidak akan mudah melupakan isi dari novel ini karena penulis
berhasil menciptakan karakter tokoh yang kuat sehingga melekat di hati pembaca.
Namun, di awal cerita saya sempat mengalami kebingungan dalam perubahan sudut
pandang yang digunakan ini, karena tidak ada keterangan yang cukup jelas sedang
menggunakan sudut pandang siapa, tetapi untungnya tidak berlangsung lama,
karena seiring berjalannya cerita akhirnya saya mulai terbiasa, sehingga dapat
menikmati cerita dari sudut pandang Ladys maupun Dias.
Tokoh
utama terbagi menjadi 2 orang, yaitu; Ladys
digambarkan sebagai seorang perempuan cantik yang memiliki rambut berombak
sepunggung, berkepribadian kuat, pantang menyerah, dan optimistis, meskipun
terkadang cenderung egois. Dias digambarkan
sebagai seorang laki-laki dengan wajah datar, sedikit senyum, bahkan nyaris
dingin, Dias menyimpan banyak luka di dalam hidupnya sehingga memiliki sikap
seperti itu. Selain dua tokoh utama
tersebut, banyak juga tokoh-tokoh lainnya seperti Esa yang merupakan mantan
pacarnya Ladys, Tyas, Om Agung, Bli
Pasek, Mbak Sandra, Putra, Mamanya Ladys, Papanya Ladys, Ibunya Dias, dan tokoh lainnya.
Tokoh-tokoh ini memberikan warna tersendiri di dalam cerita. Tokoh favorite saya adalah Tyas yang merupakan
adiknya Dias. Tyas ini memiliki
kepribadian yang menyenangkan dan kebalikan dari sifatnya Dias, sosok Tyas
inilah yang akhirnya membuat hubungan antara Ladys dengan Dias mencair dan menjadi
lebih baik dari hari ke hari.
Novel
ini tidak hanya terfokus pada romansa dari kedua tokoh utama saja, novel ini
juga akan mengajak pembaca untuk memahami arti keluarga, sekalipun keluarga
tersebut sudah tidak menjadi sebuah satu kesatuan dari keluarga yang utuh.
Selain itu, saya menyukai konsep penulis mengenai “cinta akan selalu
memaafkan”, tagline ini menurut saya
berhasil penulis sampaikan melalui cerita demi cerita di novel ini. Seperti pada
konsep yang diterapkan penulis untuk kedua tokoh utamanya, Ladys sangat
menyukai melati, dan Dias sangat menyukai apel Fuji. Sebenarnya ada latar
belakang cerita yang pedih sekaligus menyakitkan bagi keduanya, namun penulis
justru membuat keduanya menyukai hal tersebut, bahkan membuat tokoh utama ini
selalu menjadikan melati dan apel Fuji menjadi bagian kehidupan yang tidak bisa
dipisahkan dari mereka, secara tidak langung, inilah sebenarnya proses
memaafkan yang sedang dijalankan oleh keduanya, perlahan namun pasti, membuat
masa lalu yang pedih menjadi salah satu bagian hidup mereka dalam kehidupan sehari-hari.
“… Sungguh,
sekali saja nama itu disebut, saya yakin Papa tidak akan keluar dari kamar
sebelum saya meminta maaf. Kami punya kesan buruk atas nama itu. Namun kesan
buruk itu juga dibayangi dengan rasa penasaran. Saya jadi terobsesi dengan
melati, sampai-sampai menamai kamera kesayangan saya ini dengan nama Jasmine.
Saya juga tergila-gila dengan jasmine
tea.” (Ladys – Hal. 9)
“Ternyata aku
dan dia sama. Namun, aku suka apel Fuji bukan hanya karena itu nama Ibu. Apel
Fuji memiliki arti khusus. Setiap berangkat sekolah dulu, Ibu selalu
menyelipkan buah itu sebagai bekalku. Ketika kutanya kenapa, jawabannya hanya
singkat, ‘Ibu menitipkan sayangnya Ibu sama kamu pada setiap benda yang namanya
Fuji’.” (Dias – Hal, 154)
Selain
itu, profesi fotografer sebagai pekerjaan yang dilakukan oleh kedua tokoh utamanya juga menjadi
latar cerita yang asyik untuk dibahas. Unsur fotografi di novel ini sangat
dominan dan dapat dikatakan sudah menjadi jiwa dari novel ini, setiap
percakapan yang terjadi antara Ladys dan Dias seringkali menghubungkan istilah
fotografi dengan kehidupan yang sedang mereka jalani. Meskipun saya sendiri
sangat awam dengan istilah-istilah di dunia fotografi, namun setelah membaca
novel ini saya justru jadi ingin belajar fotografi :D . Hmm, sebagai pembaca tidak usah takut kebingungan dengan banyaknya istilah fotografi yang digunakan,
karena selalu dilengkapi dengan catatan kaki (footnote), dan dijelaskan dengan bahasa yang
mudah dimengerti. Jadi, membaca novel ini akan membuat kita mendapatkan
beberapa ilmu baru seputar dunia fotografi, sangat sayang untuk dilewatkan.
“Ladys. Kurasa
aku tahu untuk apa aku dan dia dipertemukan seperti ini. Seperti kamera ponsel,
ada shutter lag yang membuatku
sedikit terlambat menyadarinya.” (Dias - Hal. 188)
“… Ilusi maya
semacam itu tidak hanya ada dalam foto, tetapi sekarang juga hadir dalam
hidupmu sendiri. Esa, dia adalah moiré pattern
yang sedang kamu lihat. Dia produk dari mata kedua kamu, mata yang membuat
otakmu tidak terpakai. Keindahan yang kamu lihat pada pola itu kenyataannya
tidak ada.” (Dias – Hal. 209)
“… foto saya itu
fleksibel kok. Bisa di-resize hingga
muat di ruang sekecil apapun, satu kilobyte ruang kosong saja cukup.” (Ladys –
Hal. 263)
Rule
of Thirds bisa dibilang berhasil menyajikan cerita romance dengan latar kekeluargaan
yang sangat kuat, konflik yang realistis, dan dengan penyelesaian yang jelas. Saya
sangat puas dan menyukai novel ini, penulis berhasil mengaduk-aduk emosi saya
sebagai pembaca, ada tawa, sedih, kesal, sekaligus khawatir. Bahkan, saya
sendiri berhasil dibuat cemas dengan ending ceritanya, karena mendekati akhir
cerita, penulis justru membuat kemungkinan demi kemungkinan yang membuat hati
pembaca merasa was-was. :D
Jadi,
saya merekomendasikan novel Rule of Thirds ini untuk teman-teman pembaca yang menyukai
cerita romance, penyuka cerita dunia
fotografi, dan juga penyuka cerita keluarga. Novel ini sangat sayang untuk
dilewatkan, kamu akan banyak mendapatkan momen indah sekaligus momen yang dapat
membuat kamu terharu. :’D
“Kamera adalah keseharian yang
membuat saya lupa pada rasa sepi.” (Hal. 214)
“Jadi, pastinya, sesuatu yang
berbau mantan itu lebih berasa saat mau pisah.” (Hal. 138)
“Pada akhirnya, aku percaya bahwa
hidup bukan hanya mengenai memiliki sesuatu, tetapi lebih pada menghargai
sesuatu.” (Hal. 241)
Selamat Membaca!
Hati – Hati Baper
:D
Tidak ada komentar:
Posting Komentar