Selasa, 31 Januari 2017

[Resensi Novel] Rule of Thirds: Cinta Akan Selalu Memaafkan

[Identitas Buku]
Judul Buku      : Rule of Thirds

Penulis             : Suarcani

Penerbit           : Gramedia Pustaka Utama

Cetakan           : Cetakan Ke-1

Tahun Terbit    : 2016

Halaman          : 280 Halaman

ISBN               : 978-602-03-3475-2

Harga               : Rp. 57.800,- (sebelum diskon di http://www.gramedia.com/conf-metropop-rule-of-thirds.html)

My Rating         : 4 / 5 Bintang

****

[Resensi]

“… saya merasa foto itu sebagai mata kedua, yang memberi saya pemahaman lain ketika mata sendiri tidak cukup mampu mengenali keindahan dunia secara langsung. Mungkin berlebihan, tapi dengan foto saya bisa lebih menghargai alam, waktu, dan keadaan.” (Ladys - Hal. 129)

Ladys Cantika adalah seorang fotografer fashion di Seoul – Korea Selatan, yang akhirnya memutuskan untuk pulang ke tanah kelahirannya di Bali agar dapat lebih dekat dengan pujaan hatinya, yaitu Esa. Selama di Bali, Ladys hidup seorang diri dan bekerja sebagai fotografer Wedding di studio milik kerabatnya, yaitu Om Agung, itu adalah konsekuensi yang harus diterimanya karena ayahnya masih memendam trauma terhadap Bali sehingga memutuskan untuk tetap tinggal di Seoul. Ladys menyukai bunga melati, dan terobsesi dengan jasmine tea.


Pranadias Putra alias Dias adalah seorang asisten fotografer yang memiliki sifat pendiam, sekalipun Dias hanya seorang asisten fotografer tetapi sebenarnya, kemampuan yang dimilikinya sudah setara dengan kemampuan fotografer handal, hanya saja nasib memang belum berpihak terhadap dirinya. Dias belum mampu untuk membeli kamera sendiri karena harus menjadi tulang punggung keluarga. Berbeda dengan Ladys, Dias menyukai apel Fuji, dan selalu memakan buah apel jenis ini, sudah seperti makanan pokok untuk dirinya. 


Sejak Ladys bekerja di tempat Om Agung, Dias menjadi asisten sekaligus sopirnya. Kesan pertama yang diberikan Dias terhadap Ladys pun tidak terlalu baik, sehingga sejak awal hubungan antara keduanya sudah memasuki fase kritis dan diliputi ketegangan.

“Apakah studionya jauh dari sini?”

“Hmm….”

“Apa artinya ‘hmm’ …?”

Dia menoleh. Tatapannya tajam sekilas lalu beralih pada jalanan. (Hal. 21)

Hari pertama bekerja, Ladys melakukan pemotretan pre-wedding di Pantai Suluban bersama pasangan Amanda dan Damar. Sejak kejadian percakapan di mobil bersama Dias, Ladys memang menjadi lebih sensitif, dan kesal dengan asistennya itu, ditambah selama pemotretan Dias beberapa kali mengomentari pengambilan gambar yang dilakukan oleh Ladys. Selain dipusingkan oleh tingkah laku Dias, Ladys juga ternyata harus menghadapi sebuah kenyataan pahit bahwa Esa yang merupakan kekasihnya telah berselingkuh. Ia memergoki Esa di pantai tersebut. 


“… Tatapan saya lekat pada sang lelaki yang kini tengah tersenyum pada perempuan di hadapannya. Esa. Esa yang mencium saya tadi pagi. Esa, lelaki yang menjadi tujuan saya pindah ke Bali. Fokus saya yang mulai berbayang karena genangan air mata lalu pindah ke meja, tempat tangannya sedang memeras tangan perempuan itu. Saya tidak sedang berhalusinasi, dia … dia mengkhianati saya.”(Hal. 35)



 Bagaimana Ladys akan bertahan di Bali? Sedangkan orang yang menjadi tujuannya pindah ke Bali telah berkhianat. Selain itu, ternyata Esa lebih memilih perempuan tersebut dari pada Ladys. Apalagi yang paling menyakitkan dalam penghianatan selain menjadi yang tidak terpilih?

****

Rule of Thirds adalah novel karya Suarcani yang pertama kali saya baca :D hehehe . Sejujurnya, saya jatuh cinta dengan cover depan novel ini, melihat cover nya langsung membuat saya ingin membaca novelnya, cover-nya itu sederhana tapi cantik banget. :’))


Rule of Thirds merupakan novel fiksi yang bergenre romance. Wuaah, tapi tenang saja, bukan romance yang hanya berpusat pada dua orang saja, tapi justru cerita ini lebih kompleks daripada kelihatannya. Novel ini juga membahas hubungan cinta di dalam keluarga masing-masing tokoh utama, antara suami dengan istri, antara anak dengan ibu, antara anak dengan bapak, serta antara kakak dengan adiknya. Terdengar kompleks bukan? Tetapi tenang saja, tidak sampai membuat pembaca sakit kepala, karena cerita disampaikan dengan alur yang cepat, jelas, dan tegas. 


Penulis menggunakan alur maju, hanya sedikit menggunakan alur mundur, itu pun untuk keperluan flashback cerita sebagai pelengkap bagian cerita dan juga untuk memperkuat karakter tokoh-tokohnya. Sudut pandang yang digunakan oleh penulis yaitu dua sudut pandang orang pertama berdasarkan tokoh utamanya. Satu dari sudut pandang Ladys dengan kata “saya”, dan satu lagi dari sudut pandang Dias dengan kata “aku”. Jenis sudut pandang ini membuat pembaca dapat lebih mengenal dan merasakan emosi dari masing-masing tokoh utamanya. Pembaca tidak akan mudah melupakan isi dari novel ini karena penulis berhasil menciptakan karakter tokoh yang kuat sehingga melekat di hati pembaca. Namun, di awal cerita saya sempat mengalami kebingungan dalam perubahan sudut pandang yang digunakan ini, karena tidak ada keterangan yang cukup jelas sedang menggunakan sudut pandang siapa, tetapi untungnya tidak berlangsung lama, karena seiring berjalannya cerita akhirnya saya mulai terbiasa, sehingga dapat menikmati cerita dari sudut pandang Ladys maupun Dias. 


Tokoh utama terbagi menjadi 2 orang, yaitu; Ladys digambarkan sebagai seorang perempuan cantik yang memiliki rambut berombak sepunggung, berkepribadian kuat, pantang menyerah, dan optimistis, meskipun terkadang cenderung egois. Dias digambarkan sebagai seorang laki-laki dengan wajah datar, sedikit senyum, bahkan nyaris dingin, Dias menyimpan banyak luka di dalam hidupnya sehingga memiliki sikap seperti itu.  Selain dua tokoh utama tersebut, banyak juga tokoh-tokoh lainnya seperti Esa yang merupakan mantan pacarnya Ladys, Tyas, Om Agung, Bli Pasek, Mbak Sandra, Putra, Mamanya Ladys, Papanya Ladys, Ibunya Dias, dan tokoh lainnya. Tokoh-tokoh ini memberikan warna tersendiri di dalam cerita. Tokoh favorite saya adalah Tyas yang merupakan adiknya Dias. Tyas ini memiliki kepribadian yang menyenangkan dan kebalikan dari sifatnya Dias, sosok Tyas inilah yang akhirnya membuat hubungan antara Ladys dengan Dias mencair dan menjadi lebih baik dari hari ke hari.


Novel ini tidak hanya terfokus pada romansa dari kedua tokoh utama saja, novel ini juga akan mengajak pembaca untuk memahami arti keluarga, sekalipun keluarga tersebut sudah tidak menjadi sebuah satu kesatuan dari keluarga yang utuh. Selain itu, saya menyukai konsep penulis mengenai “cinta akan selalu memaafkan”, tagline ini menurut saya berhasil penulis sampaikan melalui cerita demi cerita di novel ini. Seperti pada konsep yang diterapkan penulis untuk kedua tokoh utamanya, Ladys sangat menyukai melati, dan Dias sangat menyukai apel Fuji. Sebenarnya ada latar belakang cerita yang pedih sekaligus menyakitkan bagi keduanya, namun penulis justru membuat keduanya menyukai hal tersebut, bahkan membuat tokoh utama ini selalu menjadikan melati dan apel Fuji menjadi bagian kehidupan yang tidak bisa dipisahkan dari mereka, secara tidak langung, inilah sebenarnya proses memaafkan yang sedang dijalankan oleh keduanya, perlahan namun pasti, membuat masa lalu yang pedih menjadi salah satu bagian hidup mereka dalam kehidupan sehari-hari. 


“… Sungguh, sekali saja nama itu disebut, saya yakin Papa tidak akan keluar dari kamar sebelum saya meminta maaf. Kami punya kesan buruk atas nama itu. Namun kesan buruk itu juga dibayangi dengan rasa penasaran. Saya jadi terobsesi dengan melati, sampai-sampai menamai kamera kesayangan saya ini dengan nama Jasmine. Saya juga tergila-gila dengan jasmine tea.” (Ladys – Hal. 9)



“Ternyata aku dan dia sama. Namun, aku suka apel Fuji bukan hanya karena itu nama Ibu. Apel Fuji memiliki arti khusus. Setiap berangkat sekolah dulu, Ibu selalu menyelipkan buah itu sebagai bekalku. Ketika kutanya kenapa, jawabannya hanya singkat, ‘Ibu menitipkan sayangnya Ibu sama kamu pada setiap benda yang namanya Fuji’.” (Dias – Hal, 154) 
 
Selain itu, profesi fotografer sebagai pekerjaan yang dilakukan oleh kedua tokoh utamanya juga menjadi latar cerita yang asyik untuk dibahas. Unsur fotografi di novel ini sangat dominan dan dapat dikatakan sudah menjadi jiwa dari novel ini, setiap percakapan yang terjadi antara Ladys dan Dias seringkali menghubungkan istilah fotografi dengan kehidupan yang sedang mereka jalani. Meskipun saya sendiri sangat awam dengan istilah-istilah di dunia fotografi, namun setelah membaca novel ini saya justru jadi ingin belajar fotografi :D . Hmm, sebagai pembaca tidak usah takut kebingungan dengan banyaknya istilah fotografi yang digunakan, karena selalu dilengkapi dengan catatan kaki (footnote), dan dijelaskan dengan bahasa yang mudah dimengerti. Jadi, membaca novel ini akan membuat kita mendapatkan beberapa ilmu baru seputar dunia fotografi, sangat sayang untuk dilewatkan.

“Ladys. Kurasa aku tahu untuk apa aku dan dia dipertemukan seperti ini. Seperti kamera ponsel, ada shutter lag yang membuatku sedikit terlambat menyadarinya.” (Dias - Hal. 188)


“… Ilusi maya semacam itu tidak hanya ada dalam foto, tetapi sekarang juga hadir dalam hidupmu sendiri. Esa, dia adalah moiré pattern yang sedang kamu lihat. Dia produk dari mata kedua kamu, mata yang membuat otakmu tidak terpakai. Keindahan yang kamu lihat pada pola itu kenyataannya tidak ada.” (Dias – Hal. 209)


“… foto saya itu fleksibel kok. Bisa di-resize hingga muat di ruang sekecil apapun, satu kilobyte ruang kosong saja cukup.” (Ladys – Hal. 263)
  
Rule of Thirds bisa dibilang berhasil menyajikan cerita romance dengan latar kekeluargaan yang sangat kuat, konflik yang realistis, dan dengan penyelesaian yang jelas. Saya sangat puas dan menyukai novel ini, penulis berhasil mengaduk-aduk emosi saya sebagai pembaca, ada tawa, sedih, kesal, sekaligus khawatir. Bahkan, saya sendiri berhasil dibuat cemas dengan ending ceritanya, karena mendekati akhir cerita, penulis justru membuat kemungkinan demi kemungkinan yang membuat hati pembaca merasa was-was. :D


Jadi, saya merekomendasikan novel Rule of Thirds ini untuk teman-teman pembaca yang menyukai cerita romance, penyuka cerita dunia fotografi, dan juga penyuka cerita keluarga. Novel ini sangat sayang untuk dilewatkan, kamu akan banyak mendapatkan momen indah sekaligus momen yang dapat membuat kamu terharu. :’D
“Kamera adalah keseharian yang membuat saya lupa pada rasa sepi.” (Hal. 214)
 
“Jadi, pastinya, sesuatu yang berbau mantan itu lebih berasa saat mau pisah.” (Hal. 138)

“Pada akhirnya, aku percaya bahwa hidup bukan hanya mengenai memiliki sesuatu, tetapi lebih pada menghargai sesuatu.” (Hal. 241)


Selamat Membaca!
Hati – Hati Baper :D

Tidak ada komentar:

Posting Komentar