Sabtu, 18 Februari 2017

[Resensi Buku] Journey to Andalusia – Marfuah Panji Astuti

[Identitas Buku]
Judul Buku : Journey to Andalusia
Penulis       : Marfuah Panji Astuti
Penerbit     : Bhuana Ilmu Populer
Cetakan     : Cetakan Ke-1
Tahun Terbit : 2016
Halaman    : 190 halaman
ISBN         : 978-602-394-391-3
Harga         : Rp.115.000,- (sebelum diskon di http://www.gramedia.com)
My Rating   : 4 / 5 bintang
****
[Sinopsis]
“Andalusia itu di Turki, ya?”

Tidak banyak generasi muda Muslim yang masih mengetahui jejak sejarah Andalusia. Sebenarnya, Andalusia adalah sejarah yang paripurna, negeri sejuta cahaya, tempat segala hal hebat berawal. Islam pernah menyinari negeri itu dengan ilmu pengetahuan, peradaban, dan kemanusiaan selama 800 tahun. Lebih dari 2/3 sejarah Islam ada di sana.

Kalkulus, algoritma, trigonometri, aljabar, adalah hasil pemikiran ilmuwan muslim bagi kemajuan peradaban. Tanpa penemuan-penemuan itu, tidak akan ada revolusi digital yang kita nikmati saat ini. Catatan perjalanan ini bukan sekedar menjelaskan bahwa Islam pernah berada di Andalusia, wilayah yang kini bernama Spanyol, Portugal, dan sebagian Prancis – bukan di Turki- tapi juga mengingatkan bahwa benderang itu bersumber dari Islam.

Apakah Cordoba masih berpendar cahaya? Seperti apa Mezquita? Semolek apa istana Alhambra? Semua jawabannya ada di dalam catatan ini.
****
[Resensi]


“Nama Thariq Ibn Ziyad selalu dikaitkan dengan peristiwa pembakaran kapal-kapal di Jabal At-thariq (Gunung Thariq), yang kemudian dilafalkan menjadi Gibraltar. Syahdan setelah berlabuh, kapal-kapal yang membawa pasukannya diperintahkan untuk dibakar. Hanya ada dua pilihan untuk pasukannya; tenggelam di lautan yang ada di belakangnya atau menghadapi pasukan musuh yang ada di depan. Peristiwa yang tidak pernah terjadi itu dituturkan dari generasi ke generasi sehingga dipercaya sebagai sebuah kebenaran.” (Hal. 58)
Saat di Kota Malaga
Benteng Alcazaba di Malaga
“… Menginjakkan kaki di Andalusia, mulai merasai sederet kepedihan.
Di Malaga, bertemu Antonia, “Tidak ada satu pun masjid yang tersisa. Semua sudah dihancurkan.”
Di Granada, melihat sebotol bir yang dinamai Alhambara Mezquita (Masjid Al Hambra) dijual seharga €3. Sungguh, saya gelisah …” (Hal. 70).


        Malaga merupakan kota tujuan pertama di dalam buku catatan perjalanan yang dilakukan oleh Ibn Batutah, kota ini dulunya merupakan pelabuhan penting bagi kesultanan Granada. Tetapi, sekarang tidak banyak peninggalan Islam di Malaga, masjid-masjid pun dihancurkan atau sudah dialihfungsikan, salah satunya yang tersisa adalah Benteng Alcazaba. Benteng Alcazaba merupakan bangunan bersejarah peninggalan Dinasti Hamuddiyah yang dahulu berfungsi untuk menahan serangan musuh dan melindungi istana Castillo de Gibralfaro. 

Jatuh Cinta di Kota Granada
Pantulan Istana Alhambra di Patio de los Arrayanes
        Kota Granada merupakan wilayah kekuasaan daulah Islam terakhir di Andalusia. Di kota ini terdapat salah satu bukti peninggalan Islam yang telah ditetapkan menjadi salah satu UNESCO World Heritage Site yaitu Istana Alhambra. Ada tiga waktu berkunjung, yakni morning, afternoon, dan evening, pembagian ini sengaja dilakukan untuk mengantisipasi padatnya jumlah pengunjung. 

      Istana Alhambra menjadi saksi bisu atas perjuangan kaum muslimin terhadap penyerangan yang dilakukan oleh pasukan Isabella dan Ferdinand. Sultan Boabdil adalah sultan terakhir dari kerajaan Granada yang menyaksikan pasukan Isabel dan Ferdinand mengepung bentengnya. Tidak ada pilihan lain, setelah melakukan pertempuran selama tujuh bulan, Ia terpaksa menyerahkan kunci gerbang kota dengan jaminan tidak ada pembunuhan atas rakyatnya dan mereka tetap boleh mempertahankan keimanannya. Namun ternyata, janji itu hanya sebatas ucapan belaka, Isabella dan Ferdinand mengingkarinya karena niat awal mereka memang menghancurkan umat islam di Andalusia, hanya dalam waktu enam tahun, hampir tidak ada jejak umat islam yang tersisa. 

“Ada tiga pilihan yang ditawarkan oleh mereka: tetap Islam dan dibunuh, dimurtadkan, atau diusir dari Granada. Mereka yang tebal keimananya, memilih syahid sebagai syuhada. Para oportunis memilih dimurtadkan asal masih bisa hidup. Puluhan ribu lainnya harus di evakuasi ke Maroko, Tunisia, serta daerah Afrika Utara untuk mempertahankan kalimat Tauhid.” (Hal. 91)


       Istana ini memiliki bangunan yang indah dan menakjubkan, membuat siapapun yang melihatnya secara langsung akan jatuh cinta, dan juga sejarah memang tidak dapat didustakan, bahwa islam memang pernah berjaya di tanah Andalusia, dibuktikan dengan adanya kompleks bangunan Istana Alhambra yang di setiap dindingnya berhias kaligrafi Laa haula wa laa quwwata illa billaah. Beberapa tempat di dalam Istana Alhambra, diantaranya yaitu (1) The Nasrid Palace yang merupakan salah satu bangunan utama di dalam kompleks Istana Alhambra yang dahulu digunakan sebagai tempat tinggal istri sultan, (2) Patrio de los Arrayanes yaitu kolam air, dari kolam ini kita bisa melihat pantulan istana di dalam air dengan posisi yang sama persis, sehingga bangunan istana terlihat seperti ada dua bangunan, (3) Palacio de los Leones merupakan patung singa berjumlah dua belas yang mengelilingi sebuah air mancur. Dahulu dari mulut singa tersebut akan memancarkan air sesuai dengan waktu yang ditunjukkan, namun saat istana jatuh ke tangan Isabella dan Ferdinand, mereka mencoba mencari tahu, bagimana cara kerja penunjuk waktu yang sangat mengagumkan ini, alih-alih berhasil memecahkan teknologinya, mereka justru malah merusaknya dan tidak dapat memperbaikinya hingga kini. Dan (4) Jannah Al Arif atau Generalife, dulunya taman ini adalah kebun sayur, dari taman ini kita bisa melihat dengan lebih jelas seluruh kompleks bangunan Istana Alhambra dengan bastion yang menjulang. 

“Alhambra, oh, Alhambra, perasaan berdebar-debar menyaksikan keindahan ini membuat saya seperti orang yang sedang jatuh cinta. Saya, jatuh cinta pada Alhambra!” (Hal. 96)

Sejuta Cahaya di Kota Cordoba
Patung Ibn Rusyd di kota Cordoba
“Cordoba adalah sebuah nama, namun bagi bangsa Eropa, Cordoba bagaikan alunan nada-nada indah. Dari sinilah kebangkitan peradaban bermula.” (Hal. 104)


      Kota Cordoba disebut sebagai kota sejuta cahaya karena di sana tempat asalnya para ulama dan ilmuwan hebat yang sangat berkontribusi dalam berbagai disiplin ilmu, sehingga dunia dapat maju seperti sekarang ini. Beberapa ilmuwan yang berasal dari Cordoba antara lain yaitu, Abulcasis yang mampu menghentikan perdarahan saat melakukan operasi pembedahan tengkorak manusia, Al-Idris yang menciptakan peta dunia yang rumit dan paling akurat, selama berabad-abad petanya terus disalin tanpa ada perubahan, dan Ibn Rusyd atau yang dikenal sebagai Aviroes merupakan bapak renaissance sejati, yang tanpa buah pemikirannya bisa saja Eropa masih berada dalam belenggu kegelapan. 
****


“Apa yang terjadi? Ketika manusia-manusia terbaik tergantikan mereka yang terlena dengan gemerlap dunia, ketika ayat-ayat Allah ditukar dengan dendang lagu dan tarian, ketika tadabur Al-Qur’an yang menghasilkan ilmu pengetahuan ditinggalkan, ketika shaf salat tak lagi rapat, apalagi jalan jihad? Saat itulah kehancuran terjadi. Ibarat fragmen, Andalusia adalah episode yang lengkap. Semua disaksikan di sana.” (Hal. 13)

       Journey to Andalusia merupakan buku karya Marfuah Panji Astuti yang berisi mengenai kisah perjalannya selama menjelajahi Andalusia. Setelah menamatkan buku ini, ada dua hal yang saya rasakan, yaitu bangga sekaligus sedih. Tentu saja saya merasa bangga, karena sejarah memang mencatat bahwa Andalusia merupakan awal mula dari majunya peradaban dunia dalam segala bidang, dan sedih karena ternyata justru peradaban Islam di negeri yang dahulu dikenal sebagai negeri seribu cahaya ini sudah meredup, bahkan hampir punah tidak tersisa.


“Perjalanan ke Andalusia sejatinya adalah mengonfirmasi sejarah. Banyak umat Islam, terutama generasi muda, tidak paham bahwa Islam pernah menyinari dengan cahaya terang di wilayah yang sekarang bernama Spanyol, Portugal, dan sebagian Prancis. Informasi yang beredar, terutama di internet, banyak yang menyesatkan.” (Hal. 60)

      Buku ini menceritakan wilayah Andalusia yang meliputi Spanyol, Portugal, dan sebagian Perancis. Pembaca diajak untuk menikmati travelling yang dilakukan oleh penulis sekaligus mengonfirmasi sejarah mengenai Andalusia yang banyak melenceng, dan tidak sesuai dengan sejarah Islam. Terlihat sangat jelas jika penulis memang menaruh minat yang sangat besar terhadap sejarah Andalusia dan mengetahui banyak hal mengenai sejarahnya, hal ini terlihat dari fakta – fakta yang disampaikan di dalam bukunya. Selain itu, sebelum melakukan perjalanan ke Andalusia, penulis memang melakukan persiapan yang cukup panjang, karena perjalanan ini merupakan perjalanan yang sudah diimpikannya sejak kecil, oleh sebab itu, penulis banyak membaca buku sebagai referensi. 

       Oh iya, penulis sebetulnya tidak langsung tiba di Andalusia, tetapi terlebih dahulu memulai perjalannya dari Maroko, yaitu dari kota Cassablanca. Hal ini dilakukannya, karena penulis memang ingin melakukan tapak tilas perjalanan dan perjuangan yang dilakukan oleh Musa bin Nushair dan Thariq Ibn Ziyad ketika menaklukkan Semenanjung Iberia. Jadi, rute yang digunakan oleh penulis yaitu dimulai dari kota Cassablanca, Rabat, Fes, Tangier, melakukan penyebrangan Selat Gibraltar untuk ke Tarifa, baru kemudian masuk ke Andalusia di Spanyol. Selalu ada cerita yang unik dan menarik di setiap kota yang disinggahi, cerita-cerita tersebut sangat sayang untuk dilewatkan. 

       Setiap kota yang disinggahi, penulis akan ditemani oleh seorang local guide yang berbeda-beda, karena di Eropa kebanyakan local guide hanya beroperasi di wilayah yang sesuai dengan lisensi yang mereka miliki. Berdasarkan pengalamannya dalam mendengarkan para local guide bercerita mengenai sejarah kota dan tempat yang Ia singgahi, Ia pun menyadari bahwa banyak informasi sejarah yang salah, dan seolah-olah memang sengaja dibuat demikian, agar Andalusia perlahan tapi pasti menghilang dari sejarah.


“Saya tersenyum kecut. Pengalaman di Granada dan Cordoba kemarin menyadarkan saya bahwa di Andalusia segala hal yang berbau sejarah Islam coba untuk dikaburkan, apalagi jika terkait dengan kemenangan pasukan Muslim.” (Hal. 125)


        Saya menyukai gaya penulisan yang digunakan oleh penulis, Ia menuliskan ceritanya dengan lugas, jelas, dan asyik, sehingga tidak membuat pembaca bosan. Selain itu, penulis tidak hanya bercerita mengenai perjalanan yang dilakukannya, tetapi juga memberikan saya banyak pemahaman baru mengenai sejarah Andalusia. Penulis akan memberikan gambaran cerita yang disampaikan oleh local guide yang sekiranya melenceng dalam sejarah Islam, kemudian setelah itu, Ia akan memberikan penjelasan yang sesuai dengan sejarah islam disertai fakta-faktanya, dengan begitu, pembaca sudah memiliki modal jika suatu saat pergi ke Andalusia, maka semoga tidak akan ikut tersesat oleh cerita yang disampaikan oleh para local guide. Naah, saya suka sekali cara penulis menyampaikan kebenaran sejarah Andalusia di buku ini, tidak terkesan menggurui. 

       Membaca buku ini sesungguhnya membuat emosi saya naik turun, penulis berhasil mengaduk-aduk emosi saya. Baru saja dibuat kagum oleh keindahan yang ditampilkan oleh bangunan bersejarah di Andalusia, tidak lama setelah itu penulis membuat dada saya terasa sesak oleh kenyataan yang ada. Beberapa bagian di buku ini yang membuat saya kesal sekaligus sedih adalah ketika penulis menceritakan mengenai Masjid Agung Cordoba (Mezquita) yang telah dialihfungsikan sebagai katedral, perayaan Dia de la Toma yaitu sebuah perayaan untuk menandai peristiwa jatuhnya kota Granada, dan juga saat penulis menceritakan mengenai adanya bukti alat-alat penyiksaan yang digunakan oleh Isabella dan Ferdinand untuk memburu umat Islam, yang hingga kini sebagian alat tersebut masih tersimpan di museum Galeria de La Inquisicion di Kota Cordoba.

“Sudut mata saya hangat. Hati saya terluka. Mihrab itu kini berada di balik terali besi. Sebuah penghalang yang sengaja dipasang supaya orang tidak bisa salat di area itu. Pemasangan terali besi ini bukannya tanpa insiden. Beberapa kali orang-orang Islam yang datang mencoba salat di tempat itu, namun ditangkap oleh petugas keamanan dengan alasan membuat onar.” (Hal. 117)

“Dia de la Toma yang digelar setiap awal Januari, merupakan perayaan untuk menandai peristiwa jatuhnya kota Granada ke tangan Isabella dan Ferdinand pada 2 Januari 1492. Perayaan itu masih terus diselenggarakan selama 523 tahun. Dewan Islam Spanyol sudah meminta supaya perayaan itu dihentikan, namun pemerintah spanyol tidak memenuhinya.” (Hal. 100 – 101)

“… Iron Maiden adalah peti berbentuk tubuh manusia, yang di dalamnya terpasang senjata-senjata yang sangat tajam dalam jumlah banyak. Mereka yang ketahuan Islam akan dimasukkan ke dalam peti ini, lalu ditutup sehingga tubuhnya terkoyak ke dalam seperti daging yang dicincang. …”. (Hal. 144)


        Di buku ini, penulis juga mengajak pembaca untuk bersikap toleransi. Hal ini dapat terlihat dari cara penulis dalam menyikapi perbedaan pandangan antara dirinya dengan para local guide yang menemani perjalanannya selama di Andalusia. Meskipun local guide seringkali menyampaikan hal yang bertentangan dengan sejarah Islam dan terkadang membuat penulis kesal, tetapi penulis tidak serta merta langsung memusuhi, membentak, atau bahkan mendebat para local guide tersebut. Penulis justru mengobrol, dan tetap menggali ilmu dari para local guide, Ia menunjukkan indentitas dirinya sebagai agen muslim yang baik. 

“What we need is dialog, understanding each other and we’ll living in harmony.”(Hal. 77) 

“Antonia, saya punya buku tentang Andalusia yang sangat lengkap. Apa yang ditulis di buku itu berkebalikan dengan penjelasanmu. Kalau saya menemukan terjemahannya dalam Bahasa Inggris, saya akan mengirimkannya untukmu. Mungkin bisa menjadi pembanding. …” (Hal. 78)

      Buku ini dilengkapi dengan foto-foto yang berwarna, sehingga membuatnya terasa lebih menarik dan foto-foto tersebut akan memudahkan pembaca dalam proses imajinasinya, sehingga membuat pembaca seolah-olah sedang berada di Andalusia. Selain itu, diakhir bagian buku ini penulis juga memberikan beberapa tips dan trik untuk melakukan travelling ke Andalusia yang disertai dengan kisaran harganya, terdapat juga penjelasan mengenai nama-nama para pemimpin dan pejuang muslim yang memiliki peran penting di Andalusia, serta pemaparan mengenai warisan Andalusia untuk dunia. Buku ini memiliki paket lengkap, yang layak untuk dijadikan salah satu koleksi.

      Melalui buku ini penulis juga ingin menyampaikan bahwa Andalusia menyimpan banyak misteri, bahwa sesungguhnya di Andalusia tidak hanya bangunan-bangunan saja yang menunjukkan ciri khas bangunan Islam, tetapi Islam juga meninggalkan jejak kuliner yang masih lestari hingga kini, ada juga seni menulis kaligrafi yang dilakukan oleh beberapa seniman jalanan, dan banyak hal lainnya. Hal ini menunjukkan meskipun Isabella dan Ferdinand mencoba segala cara untuk melenyapkan cahaya Allah dari bumi Andalusia, tapi Allah Sang Pemilik Cahaya telah menuliskan takdir-Nya, dan tetap saja, jejak Islam masih akan terus ada di bumi Andalusia. 

“Dan masa (kejayaan dan kehancuran) itu Kami pergilirkan di antara manusia (agar mereka mendapat pelajaran) dan agar Allah membedakan orang-orang yang beriman dengan orang-orang kafir dan agar sebagian kamu dijadikan-Nya gugur sebagai Syuhada.” (QS. Ali Imran: 140)

         Buku ini penuh akan ilmu sejarah, namun sejarah tersebut disampaikan dengan konsep yang asyik dan tidak menggurui sehingga lebih mudah untuk dicerna. Oh iya, buku ini sebenarnya masuk ke dalam seri Jelajah Tiga Daulah yang terdiri dari 3 buku, yaitu Journey to Andalusia, Journey to The Greatest Ottomaan, dan Journey to Abbasiyah. Dan saya adalah salah satu pembaca yang menantikan seri selanjutnya. Buku ini sangat cocok dibaca untuk semua kalangan dan dapat dijadikan sebagai salah satu referensi untuk mengenal sejarah Andalusia. Sebagai generasi muslim penerus bangsa dan peradaban, jangan sampai salah persepsi mengenai sejarah islam di Andalusia. Selamat Membaca! 😉 

“Sejatinya, apa yang terjadi di Andalusia pada waktu itu adalah apa yang terjadi di Palestina saat ini. Secara bertahap dan sistematis, umat Islam diusir dari Tanah Airnya. Kekejaman di Andalusia sungguh tak terbayangkan oleh manusia dan kemanusiaan.” (Hal. 143-144)



*Tulisan ini diikutsertakan dalam event blog review buku Journey to Andalusia yang diadakan oleh Penerbit Bhuana Ilmu Populer

1 komentar:

  1. Yuk jalan-jalan ke Andalusia juga :)
    http://theboochconsultant.blogspot.co.id/2017/02/5-alasan-mengapa-kamu-harus-baca-sastra.html?m=1

    BalasHapus