Sabtu, 21 Januari 2017

[Resensi Novel] Petjah : Satu Dari Seribu, Aku Mau Kamu



[Identitas Buku]
Judul Buku      : Petjah
Penulis             : Oda Sekar Ayu
Editor              : Afrianty P. Pardede
Design Cover  : Arieza Nadya
Penerbit           : Elex Media Komputindo
Cetakan           : Cetakan Ke-1
Tahun Terbit    : 2017
Halaman          : 314 Halaman
ISBN               : 978-602-02-9595-4
Harga              : Rp. 64.800,- (sebelum diskon via http://www.gramedia.com/conf-petjah.html)
My Rating        : 4 / 5

****
[Sinopsis]

Nadhira menyayangi Dimas, tetapi Dimas membenci Nadhira. Semesta menyayangi Nadhira dan memberinya satu permintaan untuk dikabulkan. Nadhira meminta Dimas beserta hatinya. Permintaan pun dikabulkan semesta.



Kemudian hadir satu orang lagi dalam permainan ini. Biru. Biru menyayangi Nadhira, namun bisakah Nadhira menyayangi Biru?



Satu dari seribu, aku mau kamu. 
 Adalah puisi hati Nadhira untuk cinta pertamanya.



Satu dari seribu, memang harus kamu. 
 Adalah sepenggal puisi harapan Biru untuk masa depannya.

Semesta mempermainkan Nadhira dan membuat hidupnya petjah.

****

[Resensi]

“Katanya kalau dapat hujan terus menerus di bulan Juli, berarti semesta lagi kasih pertanda. Mereka akan menukar hujan dengan permintaan kita. What’s your wish? 

 “I wish I could date my crush.” 
 (Hal. 38)
Nadhira Amira sadar betul pertanyaan yang dilontarkan oleh seseorang tersebut sebenarnya terkenal konyol, tapi entah mengapa hatinya tidak dapat mengingkari kalau dirinya memiliki jawaban atas pertanyaan tersebut. Nadhira ingin meminta jadi pacarnya Dimas walau satu hari saja, I wish I could date my crush. Nadhira adalah seorang siswa SMA tingkat akhir dari kelas Akselerasi, dia berada di kelas spesial yang hanya berisi 10 orang, termasuk Dimas. Nadhira tidak begitu menyukai hujan, tetapi sudah beberapa hari selalu berjumpa dengan hujan, padahal ini masih bulan Juli dan seharusnya belum masuk musim penghujan. Setahun sekelas dengan Dimas membuat Nadhira gila, karena ternyata Nadhira menyukai Dimas dengan segala kharisma dan kepintaran yang dimilikinya, tetapi Nadhira juga tahu bahwa tatapan mata Dimas terhadap dirinya seringkali dingin dan terkesan menusuk hatinya, yang akhirnya membuat Nadhira lebih banyak diam kalau sudah dekat dengan Dimas, karena takut oleh tatapannya tersebut.


“YES! Nilai gue di atasnya Dimas!” (Hal. 1)


Dimas Baron mengetahui sebuah fakta dari kakaknya, bahwa saat pengumuman masuk SMA setahun lalu ada seorang anak perempuan yang begitu bahagia saat melihat nilai tes tersebut, karena anak perempuan itu berada di urutan ketiga, sedangkan Dimas berada di urutan keempat. Perempuan itu adalah Nadhira. Mungkin sejak saat itulah Dimas mulai menjaga jarak dengan Nadhira, dan membuktikan diri untuk tetap melesat ke peringkat pertama. Dimas adalah teman sekelas Nadhira dengan kadar kepintaran yang tidak perlu diragukan lagi, selain pintar, dia juga termasuk konyol dan lucu, seringkali membuat ulah bersama Bram ketika jam istirahat. 

Percaya tidak percaya, semesta mengabulkan harapan Nadhira untuk mendapatkan hati Dimas, karena sejak malam itu, Dimas seolah memandang Nadhira ada, pandangan Dimas berubah, tidak lagi menatap Nadhira dengan dingin, melainkan mengulurkan tangannya untuk berteman bahkan menjadikan Nadhira pacarnya. Tetapi, perjalanan Nadhira tidak berhenti sampai Dimas menjadi pacarnya, ada oranglain yang dihadirkan oleh semesta untuk melengkapi perjalanan hidup Nadhira, yaitu Biru.


Rintik lewat beberapa detik 
 Langkah lepas tak punya arah 
 Bersama hujan berlari menyapu sanubari

Dilanda nestapa tiap tidak ada 
 Katanya ini untaian rindu jadi duka
Lalu kutitipkan pada kelabu
Sebab hujan membawamu
Nona Hujan,
Akankah kita bertemu? 
(Hal. 59)



Ambrosius Biru memiliki banyak topeng di kehidupannya. Di sekolah, Biru terkenal sebagai kakak kelas yang suka sekali mengganggu anak baru, suka tawuran, suka bolos pelajaran, dan beberapa hal negatif lainnya. Tetapi, Nadhira justru menemukan sosok yang berbeda, Biru ternyata sama seperti dirinya yang menyukai karya seni terutama di bidang puisi. Nadhira menikmati tiap aksara yang dituliskan oleh Biru, begitu pun dengan Biru yang mulai kembali melihat hidupnya sejak mengenal Nadhira. Biru sendiri sebenarnya sudah lama mengenal tulisan-tulisan puisi Nadhira yang sering tertempel di mading sekolah dengan nama “anonim”, tetapi mengenal sosoknya secara langsung justru membuat Biru kembali untuk menengok dunia yang dahulu, saat nona hujannya masih hidup.

Hari demi hari membuat hubungan Nadhira dengan Dimas terus membaik dan menyenangkan, begitu pun hubungan Nadhira dengan Biru yang terus mengalami kemajuan sedikit demi sedikit. Tetapi, semesta memang tidak semudah itu membiarkan seseorang terus berada dalam kebahagian. Semakin Nadhira maju, Biru justru semakin mundur, karena di satu titik Biru mulai menyadari bahwa di antara dirinya dengan Nadhira ada takdir semesta yang tidak dapat dihindari. Takdir yang membuat hidup mereka petjah.

****

Petjah adalah novel jenis teen fiction karena menceritakan tentang remaja SMA. Nadhira, Biru, dan Dimas adalah tokoh utama di novel ini. Novel ini tidak hanya mengusung genre percintaan remaja, karena sejujurnya saya lebih melihat kepada tema persahabatan dan kekeluargaan. Novel ini merupakan novel debut dari Oda Sekar Ayu, untuk novel debut menurut saya novel ini dapat dikatakan berhasil, karena novel ini memiliki tema yang kuat, alur cerita yang jelas, karakter tokoh yang juga kuat, serta akhir cerita yang tidak mudah ditebak. Penulis berhasil menyajikan konflik cerita yang cukup kompleks untuk seukuran anak SMA dan memberikan penyelesaian yang baik.  

Saya suka sekali dengan cover novel ini. Pertama kali saya melihatnya langsung ingin membelinya, entahlah, mungkin karena saya menyukai hujan, jadi seketika langsung tertarik untuk mengoleksi novel ini. Mulanya, saya fikir akan bercerita tentang seorang anak perempuan yang menyukai hujan karena gambar cover depannya, tetapi ternyata saya keliru, tokoh perempuan yang diperankan Nadhira justru tidak begitu menyukai hujan, karena hujan mengingatkannya dengan sang kakak.

“Aku bukan benci hujan, aku hanya tidak suka pada hujan. Tubuhku terlalu sensitif dengannya, kena hujan sebentar saja bisa membuatku langsung flu dan demam. Lalu alasan lain adalah karena hujan adalah satu-satunya kenangan yang ditinggalkan orang yang sudah pergi dari keluargaku untuk selama-lamanya.”(Hal. 82)



Penulis sebagian besar menggunakan alur maju, hanya sedikit menggunakan alur mundur, itupun hanya sebagai penguat dari karakter tokoh cerita. Sudut pandang yang digunakan oleh penulis sebagian besar menggunakan sudut pandang dari tokoh Nadhira, sehingga pembaca akan dengan mudah merasakan setiap perubahan emosi dari Nadhira. 

Tokoh utama terbagi menjadi 3 orang, yaitu; Nadhira digambarkan sebagai seorang mruid perempuan yang menyukai dunia bahasa, mudah bergaul, dan ceria. Dimas digambarkan sebagai seorang murid laki-laki yang pintar, sangat idealis dalam segala hal, tetapi memiliki berkepribadian santai, dan asyik untuk diajak berteman. Sedangkan, Biru digambarkan sebagai sosok murid laki-laki yang bertolak belakang dengan Dimas. Biru ini tipe-tipe bad boy kalau disekolah, digambarkan sebagai seorang perusuh di sekolah dan suka tawuran, tapi sebenarnya Biru memiliki kemampuan yang luar biasa di bidang sastra. Selain tiga tokoh utama tersebut, banyak juga tokoh-tokoh lainnya seperti Mira, Bram, Kak Utha, dan lainnya. Tokoh-tokoh ini memberikan warna tersendiri di dalam cerita, dan berhasil mempertahankan karakter serta ciri khasnya masing-masing, sehingga membuat suasana persahabatan semakin terasa kuat.

Novel ini tidak hanya terfokus pada romansa dari ketiga tokoh utama saja, novel ini juga berhasil menyajikan kehidupan para murid dari kelas akselerasi yang dikejar oleh target belajar yang cukup ekstrem demi memenuhi target pembelajaran mereka. Apakah novel ini mengisahkan cerita tentang kisah cinta segitiga anak SMA? Menurut saya sih tidak, sejujurnya tidak terlalu terlihat kisah cinta segitiganya, membaca novel ini seolah mengajak pembaca untuk menemukan jati diri seorang Nadhira. 

Penggunaan bahasa yang digunakan oleh penulis memang berubah-ubah, kadang menggunakan aku, saya, dan bahkan juga sering menggunakan bahasa gaul gue - lo. Bagi saya sih tidak terlalu bermasalah, toh saya tetap bisa menikmati membaca novel ini. Penulis biasanya akan menggunakan kata saya-kamu ketika terjadi percakapan antara Nadhira dengan Biru, sedangkan penulis akan menggunakan bahasa gaul saat Nadhira sedang bersama dengan teman-teman di sekolahnya. Ada juga beberapa istilah gaul ala anak sekolah yang digunakan oleh penulis, tetapi pembaca tidak perlu takut salah memahami, karena ada catatan kaki yang disediakan, sehingga tidak akan membuat bingung. 

Saya suka sekali chemistry  antara Nadhira dengan Dimas, maupun Nadhira dengan Biru. Saya menikmati setiap percakapan ala Einstein yang terjadi antara Dimas dengan Nadhira, dan juga sangat menikmati rangkaian puisi demi puisi yang diciptakan oleh Nadhira dan Biru dalam mengisi setiap percakapan yang terjadi antara mereka. Kedua hal ini menjadi kelebihan utama bagi novel ini. Novel ini tidak akan membuat pembaca jenuh, karena banyaknya rangkaian kata-kata yang unik sekaligus indah.

“Abis lo kayak larutan buffer, Dim. Lo mempertahankan harga pH, mempertahankan tingkat kesenangan dalam hidup gue.” (Nadhira, Hal. 137)



“Psst … nggak ada proses merelakan yang mudah, Nadhi. Bahkan nggak semua atom bisa melepaskan elektronnya semudah itu. Mereka tetap membutuhkan gaya, kan?” (Dimas, Hal. 165)



“Kepada peminjam payung yang sudah membaca semuanya. Hati-hatilah karena semesta sedang mempermainkanmu. Dia sedang mempermainkan kita.” (Biru, Hal. 76)



“Mulut kamu terlampau manis, puisi kamu terlalu kelam, tapi tangan kamu sangat kasar. Saya semakin nggak ngerti kamu ini sebetulnya makhluk apa.” (Nadhira, Hal. 116)



     Ah iya, tetapi saya agak sebal dengan sikap Nadhira di pertengahan cerita, karena dia terlalu sibuk dengan pikirannya sendiri, mengabaikan Dimas yang sebenarnya selalu ada dan bersedia meluangkan waktu untuk Nadhira ditengah obsesi Dimas untuk mengejar masa depannya. Selain itu, saya juga menemukan beberapa typo di novel ini, bagi saya sih tidak terlalu mengganggu dan masih tahap wajar karena memang ini cetakan pertama, semoga di cetakan selanjutnya dapat diperbaiki.

“… sebentar lagi bel0 …” (hal. 51)  seharusnya “ … sebentar lagi bel …”


“Nadhira tiak menjawabnya, …” (hal. 117) seharusnya “Nadhira tidak menjawabnya, …”


“… kebebasan berkekspresi …” (hal. 118) seharusnya “ … kebebasan berekspresi …”


“ … sedikit pun Nahdira …” (hal. 285) seharusnya “ … sedikit pun Nadhira …”

         

Naah, intinya saya mau bilang kalau saya sangat menyukai isi novel ini. Penulis berhasil membuat saya kembali merasakan kehidupan anak-anak remaja, padahal saya juga emang masih muda sih belum tua-tua banget :D. Banyak pesan yang dapat kita ambil melalui novel ini, khususnya untuk para remaja, baik pesan yang terlihat jelas, maupun pesan yang tersirat. Beberapa isi pesan dari novel ini yaitu (1) Tetaplah ingat kita masih memiliki orang tua yang akan terus mengkhawatirkan sang anak, jadi berbagilah cerita dengan orang tua kita. (2) Selain orang tua, kita juga memiliki sahabat-sahabat dekat yang dapat dijadikan tempat untuk bertukar pikiran. (3) Jangan biarkan diri sendiri rusak oleh prasangka-prasangka yang terus berputar di pikiran kita, cobalah untuk menguraikan prasangka tersebut dengan tindakan nyata. (4) Jangan hidup dengan masa lalu, tapi hiduplah untuk masa depan dengan terus belajar dari peristiwa yang telah terjadi. Dan, (5) meskipun kita mungkin tidak dapat menjadi seorang yang idealis 100 %, tapi penting untuk menjaga idealisme yang kita miliki dari remaja agar ketika dewasa kita sudah memiliki prinsip-prinsip hidup. Jadi, untuk teman-teman yang ingin bernostalgia dengan masa-masa indah ketika SMA saya sarankan untuk membaca novel ini, dan juga tentunya untuk kamu para remaja, novel ini sangat layak untuk kamu baca.



“Saya cuma mau kamu ingat satu hal, Biru. Berhenti bahagia hanya karena meraka sudah tidak ada, nggak akan membuat mereka kembali ke dunia. Jadi jangan pernah berhenti bahagia.” (Hal. 124)



“Erlang itu, Ru … semacam nilai tangen sudut 90 derajat … nggak terdefinisikan, Ru. Erlang adalah alasan aku masih bernafas sampai sekarang.”(Hal. 126)



“Tidak ada jatuh yang tidak sakit, namun air hujan itu rela menyakiti dirinya untuk melebur bersama tanah menjadi sumber kekuatan bagi makhluk-makhluk hidup di sekitarnya.” (Hal. 146)



“Dalam rangkaian push-pull itu dua transistor bekerja sama, saling menguatkan waktu yang satunya lemah. Jadi sumber kekuatan saat yang satunya nggak kuat.”(Hal. 180)



“Begitu kamu memaksakan pertemuan di antara kedua rel kita, yang terjadi adalah bencana. Kita bertabrakan begitu keras melukai satu sama lain.” (Hal. 251)



“Satu hal yang salah dan ingin saya sampaikan adalah bahwa pecah tidak selalu berarti salah. Kamu tidak salah karena akhirnya hancur. Kehancuran itu mengajarkan kamu bangkit dan memulai kembali dari awal, kan?” (Hal. 312)




Selamat Membaca!

Salam Petjah !

Hati – Hati Baper :D

7 komentar: