[Identitas Buku]
Judul Buku : Ninevelove
Penulis : J.S. Khairen
Penerbit : Gramedia Pustaka Utama
Cetakan : Cetakan Ke-1
Tahun Terbit : 2016
Halaman : 326 Halaman
ISBN : 978-602-03-3418-9
Harga : Rp. 59.400 (www.gramedia.com)
Rating : 4 / 5 *
[Sinopsis]
Jika cinta tumbuh tanpa alasan,
bisakah kebencian juga lahir tanpa alasan? Karena kebencianku padanya sudah
bulat dan berkeping-keping bahkan sebelum aku mengenalnya.
Aku tak tahu kenapa laki-laki
berbadan kurus ceking itu tak pernah membuat hidupku tenang. Selalu ada saja
ejekan dan celaan yang membuat gundukan kebencianku semakin tinggi dan siap
meletus kapan pun ia mau. Ya, Joven Sayoeti Chaniago-wartawan junior Majalah
Cakrawala sekaligus rekanku di Tinta Kampus-seakan tak rela melihatku bahagia
dengan senyum mengembang di pipi.
Aku pun merawat dengan baik
kebencian itu. Menyiramnya dengan ledekan juga tawa puasnya, agar suatu hari
nanti aku bisa membalasnya. Namun, saat pohon kebencian itu tumbuh dan berbuah,
aku benar-benar tercengang. Tak kudapati bara di dalamnya. Hanya candu yang
membuat aku terikat, hingga aku tak bisa melepaskan diri darinya.
[Resensi]
“Mencintai itu tidak gratis. Ada
biaya yang harus dikeluarkan. Biaya itu bernama pengorbanan dan mata uangnya
adalah perjuangan. Semakin besar pengorbanan, semakin besar cinta yang
didapatkan. Namun, gunakanlah mata uang yang tepat dengan cara yang tepat.”(Halaman 275)
Dewi
Cantika Mayasari adalah seorang mahasiswa dari Fakultas Ekonomi yang juga aktif
di Tinta Kampus, yaitu sebuah organisasi yang bergerak di bidang pers dan
jurnalistik kampusnya. Dewi sangat mengagumi Guruh, teman sekelas sekaligus
sesama aktivis Tinta Kampus, Ia selalu tersenyum dan selalu menyapa Guruh
disetiap pertemuan mereka. Meskipun sikap Guruh terkadang acuh terhadap
dirinya, tetapi hal tersebut tidak dijadikan masalah, karena Guruh telah
menempati ruang khusus di hatinya. Sebaliknya, Joven Sayoeti Chaniago justru
menjadi orang yang paling dibenci oleh Dewi, jika dirinya dan Joven berada di satu
tempat yang sama, maka dapat dipastikan akan terjadi pertengkaran diantara
mereka. Entah mengapa, bagi Dewi setiap perkataan Joven selalu terdengar
seperti ejekan yang membuatnya marah.
“Huahahaha, bisa juga mak lampir
kayak elo pakai lipstick? Gue kira elo cowok.” Hina Joven sambil tertawa
puas.
Dewi
dan Guruh berkesempatan untuk menulis artikel mengenai pemilu kampus untuk
buletin Tinta Kampus, tetapi, karena kecerobohan mereka berdua, artikel
tersebut justru bermasalah dan membuat mereka harus menghadapi “sidang” di
sekretariat Tinta Kampus. Perdebatan antara pihak Tinta Kampus, tim sukses para
calon kandidat, dan panitia pemilu kampus hampir membuat Tinta Kampus
dibubarkan, hingga akhirnya seseorang membuka suara dan menyampaikan
pendapatnya, yaitu Joven.
“Kak Heru, tunggu dulu.”
“Dalam dunia
jurnalistik, seorang wartawan sebagaimana manusia biasa, pasti bisa salah!”
“Dan menuntut
pada rektorat agar Tinta Kampus ditutup tidak akan memecahkan masalah apa-apa,
Kak. Pers adalah pilar demokrasi keempat! Dan pers harus ada di Negara seperti
Indonesia. Tanpa adanya pers yang kredibel, goyah sudah demokrasi.”(Halaman 14)
“Tulisan ini
memang kacau balau,” Joven melanjutkan.
“Kalau di tempat gue, tulisan ini udah
dijadiin bungkus kacang. Maaf ya Riando, tapi ini benar. Kalian harus jaga
baik-baik kualitas, tulisan di Tinta Kampus.”
“Dan, ini saran
gue, Kak. Pihak Tinta Kampus, tinggal terbitkan tulisan konfirmasi. Sudah
cukup. Sampaikan apa yang kurang dalam tulisan sebelumnya, minta maaf pada khalayak
tentang apa yang kalian sudah lebih-lebihkan. Intinya, ada baiknya dua orang
penulisnya mewawancarai pihak-pihak yang belum terakomodir dan merasa dirugikan
dalam tulisan ini. … .” (Halaman 15)
Saran
dari Joven dapat diterima dan berhasil menghentikan perdebatan yang terjadi di
sekretariat Tinta Kampus. Kejadian itu pun akhirnya mengungkapkan bawa Joven
yang selama ini dibenci oleh Dewi merupakan salah seorang wartawan junior di
majalah nasional yang paling hebat, yaitu Majalah Cakrawala. Meskipun banyak orang yang akhirnya kagum dengan kemampuan Joven karena insiden di ruang Tinta Kampus tersebut, tetapi berbeda dengan Dewi, Ia justru semakin membenci Joven, bahkan Riando sebagai
ketua Tinta Kampus pun mengharapkan agar Joven masuk dan mendaftar di Tinta
Kampus.
“Harusnya lo
ikut daftar Tinta Kampus semester depan. Organisasi ini butuh orang kayak elo,”
Ucap Riando
(Halaman 16)
Dinda Alamanda Puspa, seorang mahasiswi baru yang sedang menulis di meja pendaftaran Tinta Kampus. Joven yang memang masih setengah hati untuk mendaftar pun langsung mendapatkan semangat tambahan, tanpa ragu, Ia akhirnya mendaftar juga di Tinta Kampus agar bisa dekat dengan Dinda.
"Aku adalah peti berisi pilihan-pilihan simpel. Hanya antara iya dan tidak. Tak ada tapi-tapi. Aku mendaftar." (Halaman 39)
Dewi pun mengalami hari-hari yang cukup sulit karena akan semakin sering bertemu dengan Joven. Joven sebenarnya tahu bahwa Dewi sangat tidak menyukainya, namun Ia tidak tahu apa alasannya, jadi Ia pun tidak terlalu memperdulikannya. Ia fokus dengan misi rahasianya yaitu untuk mendapatkan Dinda. Gayung pun bersambut, ternyata Dinda merespon segala hal yang dilakukan Joven terhadap dirinya. Tetapi, semakin Joven dekat dengan Dinda ternyata ada seseorang yang tidak senang dengan hubungan mereka dan bersiap untuk berperang dengan Joven. Siapakah dia? Mengapa demikian? Lalu, bagaimana cara Dewi untuk bertahan di Tinta Kampus setelah ada Joven? Dan, apakah Dewi berhasil mendapatkan hati Guruh?
****
Ninevelove
adalah novel fiksi bergenre romance
yang pertama kali ditulis oleh J.S. Khairen. Menurut informasi yang beredar,
novel ini sebelum akhirnya diterbitkan, awalnya hanya ada satu yaitu hanya
dicetak untuk sang mantan kekasih, maka dari itulah tagline novel ini “Hanya untuk satu orang. Hanya untuk kamu.”
Ninevelove
mengisahkan kisah cinta segitiga yang menurut saya justru bisa dibilang kisah
cinta segi banyak yang seolah seperti benang kusut, perlu kesabaran untuk dapat
menguraikan benang kusut tersebut agar menjadi benang yang tergulung rapi. Tema sentral yang diangkat oleh penulis
adalah romance dan persahabatan.
Novel ini jika dilihat dari sinopsisnya menggambarkan kisah benci jadi cinta, tetapi
jalan cerita yang disajikan oleh penulis tidak sesederhana itu, banyak aspek
kehidupan lain yang disinggung di dalam novel ini.
Penulis
sebagian besar menggunakan alur maju,
hanya sedikit menggunakan alur mundur, itupun hanya sebagai penguat dari
karakter tokoh cerita. Sudut pandang
yang digunakan oleh penulis yaitu sudut pandang orang ketiga serba tahu. Tokoh
utama di novel ini ada 3 orang yaitu Dewi, Joven, dan Guruh, masing-masing
tokoh diberikan ruang untuk bercerita dari sudut pandang mereka masing-masing,
pembagian porsi cerita seperti ini membuat pembaca dapat lebih mengenal sosok
dan karakter dari masing-masing tokoh, emosi yang dirasakan oleh para tokoh pun
akan berhasil pembaca rasakan. Selain itu, penulis juga secara jelas menuliskan
PoV (Point of View) siapa yang sedang
digunakan, sehingga pembaca tidak akan mengalami kebingungan. Sudut pandang
seperti ini menjadi salah satu kelebihan dari novel ini, pembaca tidak akan
mudah melupakan isi dari novel ini karena pernulis berhasil menciptakan
karakter tokoh yang kuat sehingga melekat di hati pembaca.
Tokoh
utama terbagi menjadi 3 orang, yaitu; Dewi
digambarkan sebagai seorang mahasiswi perantau yang sederhana, berkepribadian
kuat, dan pantang menyerah, Dewi berasal dari Jawa Tengah, dan memiliki logat
Jawa yang khas, yang terasa setiap dirinya bercakap-cakap dengan ibunya. Joven digambarkan sebagai seorang
laki-laki yang sedikit nyeleneh, anak
band dan jurnalis junior handal, berkepribadian santai, dan asli keturunan
Minang. Sedangkan, Guruh digambarkan
sebagai sosok mahasiswa yang bertolak belakang dengan Joven, sangat
terorganisir, disiplin, dan pintar, siapapun akan mudah jatuh hati dengan
kepribadian Guruh, termasuk Dewi. Selain, tiga tokoh utama tersebut, banyak
juga tokoh-tokoh lainnya seperti Dinda, Glenny, Riando, Rieska, Wira, dan
lainnya. Tokoh-tokoh ini memberikan warna tersendiri di dalam cerita, dan
berhasil mempertahankan karakter serta ciri khasnya masing-masing, sehingga
membuat suasana persahabatan semakin terasa kuat.
Novel
ini tidak hanya terfokus pada romansa dari ketiga tokoh utama saja, novel ini
juga berhasil menyajikan kehidupan para aktivis kampus yang bergelut di dunia
jurnalistik yaitu organisasi Tinta Kampus. Pembaca diajak untuk mengikuti
perkembangan Tinta Kampus dibawah tiga era kepemimpinan, pembaca juga diajak
untuk ikut merasakan proses musyawarah pemilihan ketua Tinta Kampus.
“Kami adalah
sutradara kampus, kalau hari ini kami menuliskan sesuatu, hari itu juga kampus
akan heboh. Esoknya, media nasional yang akan heboh.” (Halaman 133 -
134)
“Tinta kampus
itu bak segerombolan merpati jinak-jinak liar. Kadang jinak, kadang liar.”
(Halaman 134)
Selain
itu, persahabatan yang terjadi diantara Joven, Guruh, dan Wira pun menjadi hal
yang asyik untuk diikuti. Pada suatu hari, mereka bertiga memutuskan untuk naik
gunung, Joven dan Wira yang sudah terbiasa tidak mengalami kesulitan dalam hal
persiapan, sedangkan naik gunung menjadi hal baru bagi Guruh. Pada bagian ini,
penulis sepertinya ingin menyampaikan kepada pembaca bahwa naik gunung membutuhkan
persiapan yang matang dan alat-alat yang mendukung, bukan hanya untuk mengikuti
trend dan berfoto-foto saja. Banyak
sindiran-sindiran halus yang disampaikan penulis untuk para pendaki gunung yang
hanya sekedar mengikuti trend saja.
“Alam mempersatukan
mereka bak saudara. Mungkin sedikit pengecualian bagi mereka yang naik gunung
hanya untuk foto-foto dan buang sampah. Golongan yang ini, dipersatukan oleh
rasa ingin narsis dan haus pengakuan bahwa mereka bisa naik gunung.”(Guruh, Halaman
260)
“Oh iya,
sepanjang perjalanan tadi, tak satu pun aku melihat pendaki yang memakai jeans seperti di kisah anak muda inspiratif yang
naik Mahameru itu. Apalagi wanita yang memakai make-up, tidak ada.”(Guruh, Halaman 267)
Ketika
ketiga lelaki itu berkumpul, dan lantas membicarakan perihal masalah hati, itu adalah
hal yang paling absurd dan canggung untuk mereka bahas, berbeda sekali dengan
kaum wanita. Tetapi, percakapan mereka perihal hati justru menjadi hal yang
unik untuk disimak, penulis menyajikan gambaran galau versi kaum lelaki. Banyak
hal yang mereka bahas selama di gunung, tetapi mereka memiliki sebuah prinsip, yaitu;
“Gunung adalah
tempat paling tepat untuk menceritakan segala kegundahan dan masalah yang lo
temui di dunia bawah sana. Apa yang terjadi, apa yang dibagi, dan apa yang
didengarkan dari teman lo di atas gunung, harus tertinggal di gunung. Semuanya,
selesai di sini. Tidak boleh lagi bahas masalah apa pun yang sudah kita
selesaikan di atas sini.”
(Joven, Halaman
270)
Menurut pendapat saya, ada beberapa kelemahan di novel ini, yaitu; Pertama, ada di bagian akhir cerita. Ah, saya berharap penulis bisa memberikan kesan akhir cerita yang lebih kuat untuk semua tokoh yang ada di dalam novel, meskipun demikian, secara keseluruhan saya tetap sangat menyukai jalan cerita di novel ini. Kedua, di bagian awal cerita, saya sebenarnya hampir berhenti membaca novel ini di bab pertama, karena saya tidak berhasil memposisikan diri sebagai Dewi yang tanpa alasan sudah langsung membenci Joven, tetapi saya tidak menyerah, saya mencoba bertahan dan mengabaikan hal tersebut, dan hal ini terbukti, saya mulai asyik dan berhasil menemukan tempo ceritanya pada saat bagian Joven dan bagian-bagian selanjutnya, hingga tidak terasa berhasil menuntaskan novel ini hingga akhir. Dan ada juga beberapa kalimat yang salah ketik (typo).
“… disiplin kita jari tercoreng di mata …” (Halaman 148)
“… Males banget dengerin curhatan sesame cowok. …”
(Halaman 242)
“ … cahaya bernama harapan telah pudur dari matanya. …” (Halaman 250)
Terlepas
dari kelemahannya, saya sangat menyukai isi novel ini. Penulis berhasil memberikan paket lengkap untuk pembaca.
Mengajak pembaca menyelami kisah cinta dan persahabatan dari tokoh utamanya,
mengajak pembaca untuk memikirkan kembali mengenai hakikat dan tujuan dari
mendaki gunung, serta hakikat dan peranan pers di masa sekarang ini. Kata-kata
mutiara, sajak, dan puisi yang ditulis di dalam novel ini memberikan kesan
tambahan bagi saya, selain itu penulis juga banyak menyampaikan kalimat yang
berisi sindiran halus dan kritik di dalam novel ini.
“Wartawan adalah
ujung tombak perubahan. Kalau wartawannya asal-asalan, hancurlah segalanya.
Seperti bangsa ini sekarang. Isu digiring bak bola beten. Ditendang sedikit,
memantulnya ke mana-mana.” (Halaman 39)
“Menulis adalah
mengungkapkan kebenaran. Di dunia ini kejujuran sudah langka dan mahal
harganya. Tapi, kita masih punya pena dan kertas untuk merekam semua
kegelisahan dan kegundahan dalam sebuah tulisan.” (halaman 47)
“Gue gak pernah
diberikan kesempatan untuk mengokang senjata, tiba-tiba aja gue ditembak
selongsong peluru dari segala arah. Gue tahu, gue akan kalah juga. Meskipun ada
sebagian yang mendukung gue. Tapi gue gak pernah menyerah.” (Halaman 248)
Jadi,
untuk teman-teman yang ingin bernostalgia dengan kenangan masa lalunya, mau
belajar melepaskan masa lalunya, atau ingin bernostalgia dengan kehidupan
kampus, saya sarankan untuk membaca novel ini. Maka, kamu sekalian akan
tersihir oleh kalimat-kalimat puitis yang ada di novel ini.
“Perempuan itu
memang begitu, harus terbiasa menunggu. Jadi, tunggu saja. Kalau memang jodoh,
nanti pasti dia sadar ..." (halaman 26)
“Aku berjalan di
janjimu. Jika aku terjatuh, bukan engkau yang salah. Tapi aku. Karena aku
menikmati tersesat di janji itu.” (Halaman 34)
“Aku mengenal
banyak lembah dan gunung dan menaklukkannya, tapi aku lumpuh ketika kau
datang.”
(Halaman 80)
“Hati wanita
adalah palung laut terdalam dan memiliki banyak misteri. Satu kastil yang telah Ia bangun sekuat tenaga untuk menyamankan hatinya sendiri, hancur hanya dengan
satu pendapat orang tak bertuan.” (halaman 300)
Selamat Membaca!
Hati – Hati Baper
:D
Tidak ada komentar:
Posting Komentar