Rabu, 23 November 2016

[Resensi Novel] Ninevelove : Hanya untuk satu orang, Hanya untuk kamu - J.S. Khairen




[Identitas Buku]
Judul Buku     : Ninevelove 
Penulis            : J.S. Khairen
Penerbit          : Gramedia Pustaka Utama
Cetakan          : Cetakan Ke-1
Tahun Terbit   : 2016
Halaman         : 326 Halaman
ISBN               : 978-602-03-3418-9
Harga              : Rp. 59.400 (www.gramedia.com)
Rating              : 4 / 5 *

[Sinopsis]
      Jika cinta tumbuh tanpa alasan, bisakah kebencian juga lahir tanpa alasan? Karena kebencianku padanya sudah bulat dan berkeping-keping bahkan sebelum aku mengenalnya.
      Aku tak tahu kenapa laki-laki berbadan kurus ceking itu tak pernah membuat hidupku tenang. Selalu ada saja ejekan dan celaan yang membuat gundukan kebencianku semakin tinggi dan siap meletus kapan pun ia mau. Ya, Joven Sayoeti Chaniago-wartawan junior Majalah Cakrawala sekaligus rekanku di Tinta Kampus-seakan tak rela melihatku bahagia dengan senyum mengembang di pipi.
     Aku pun merawat dengan baik kebencian itu. Menyiramnya dengan ledekan juga tawa puasnya, agar suatu hari nanti aku bisa membalasnya. Namun, saat pohon kebencian itu tumbuh dan berbuah, aku benar-benar tercengang. Tak kudapati bara di dalamnya. Hanya candu yang membuat aku terikat, hingga aku tak bisa melepaskan diri darinya.
**** 
[Resensi]
“Mencintai itu tidak gratis. Ada biaya yang harus dikeluarkan. Biaya itu bernama pengorbanan dan mata uangnya adalah perjuangan. Semakin besar pengorbanan, semakin besar cinta yang didapatkan. Namun, gunakanlah mata uang yang tepat dengan cara yang tepat.”(Halaman 275)

Dewi Cantika Mayasari adalah seorang mahasiswa dari Fakultas Ekonomi yang juga aktif di Tinta Kampus, yaitu sebuah organisasi yang bergerak di bidang pers dan jurnalistik kampusnya. Dewi sangat mengagumi Guruh, teman sekelas sekaligus sesama aktivis Tinta Kampus, Ia selalu tersenyum dan selalu menyapa Guruh disetiap pertemuan mereka. Meskipun sikap Guruh terkadang acuh terhadap dirinya, tetapi hal tersebut tidak dijadikan masalah, karena Guruh telah menempati ruang khusus di hatinya. Sebaliknya, Joven Sayoeti Chaniago justru menjadi orang yang paling dibenci oleh Dewi, jika dirinya dan Joven berada di satu tempat yang sama, maka dapat dipastikan akan terjadi pertengkaran diantara mereka. Entah mengapa, bagi Dewi setiap perkataan Joven selalu terdengar seperti ejekan yang membuatnya marah.
“Huahahaha, bisa juga mak lampir kayak elo pakai lipstick? Gue kira elo cowok.” Hina Joven sambil tertawa puas.


Dewi dan Guruh berkesempatan untuk menulis artikel mengenai pemilu kampus untuk buletin Tinta Kampus, tetapi, karena kecerobohan mereka berdua, artikel tersebut justru bermasalah dan membuat mereka harus menghadapi “sidang” di sekretariat Tinta Kampus. Perdebatan antara pihak Tinta Kampus, tim sukses para calon kandidat, dan panitia pemilu kampus hampir membuat Tinta Kampus dibubarkan, hingga akhirnya seseorang membuka suara dan menyampaikan pendapatnya, yaitu Joven.
“Kak Heru, tunggu dulu.” 
“Dalam dunia jurnalistik, seorang wartawan sebagaimana manusia biasa, pasti bisa salah!”
“Dan menuntut pada rektorat agar Tinta Kampus ditutup tidak akan memecahkan masalah apa-apa, Kak. Pers adalah pilar demokrasi keempat! Dan pers harus ada di Negara seperti Indonesia. Tanpa adanya pers yang kredibel, goyah sudah demokrasi.”(Halaman 14) 

“Tulisan ini memang kacau balau,” Joven melanjutkan.
“Kalau di tempat gue, tulisan ini udah dijadiin bungkus kacang. Maaf ya Riando, tapi ini benar. Kalian harus jaga baik-baik kualitas, tulisan di Tinta Kampus.” 
“Dan, ini saran gue, Kak. Pihak Tinta Kampus, tinggal terbitkan tulisan konfirmasi. Sudah cukup. Sampaikan apa yang kurang dalam tulisan sebelumnya, minta maaf pada khalayak tentang apa yang kalian sudah lebih-lebihkan. Intinya, ada baiknya dua orang penulisnya mewawancarai pihak-pihak yang belum terakomodir dan merasa dirugikan dalam tulisan ini. … .” (Halaman 15) 

Saran dari Joven dapat diterima dan berhasil menghentikan perdebatan yang terjadi di sekretariat Tinta Kampus. Kejadian itu pun akhirnya mengungkapkan bawa Joven yang selama ini dibenci oleh Dewi merupakan salah seorang wartawan junior di majalah nasional yang paling hebat, yaitu Majalah Cakrawala. Meskipun banyak orang yang akhirnya kagum dengan kemampuan Joven karena insiden di ruang Tinta Kampus tersebut, tetapi berbeda dengan Dewi, Ia justru semakin membenci Joven, bahkan Riando sebagai ketua Tinta Kampus pun mengharapkan agar Joven masuk dan mendaftar di Tinta Kampus. 
“Harusnya lo ikut daftar Tinta Kampus semester depan. Organisasi ini butuh orang kayak elo,” Ucap Riando
(Halaman 16) 

Dinda Alamanda Puspa, seorang mahasiswi baru yang sedang menulis di meja pendaftaran Tinta Kampus. Joven yang memang masih setengah hati untuk mendaftar pun langsung mendapatkan semangat tambahan, tanpa ragu, Ia akhirnya mendaftar juga di Tinta Kampus agar bisa dekat dengan Dinda. 
"Aku adalah peti berisi pilihan-pilihan simpel. Hanya antara iya dan tidak. Tak ada tapi-tapi. Aku mendaftar." (Halaman 39)

Dewi pun mengalami hari-hari yang cukup sulit karena akan semakin sering bertemu dengan Joven. Joven sebenarnya tahu bahwa Dewi sangat tidak menyukainya, namun Ia tidak tahu apa alasannya, jadi Ia pun tidak terlalu memperdulikannya. Ia fokus dengan misi rahasianya yaitu untuk mendapatkan Dinda. Gayung pun bersambut, ternyata Dinda merespon segala hal yang dilakukan Joven terhadap dirinya. Tetapi, semakin Joven dekat dengan Dinda ternyata ada seseorang yang tidak senang dengan hubungan mereka dan bersiap untuk berperang dengan Joven. Siapakah dia? Mengapa demikian? Lalu, bagaimana cara Dewi untuk bertahan di Tinta Kampus setelah ada Joven? Dan, apakah Dewi berhasil mendapatkan hati Guruh?
****
Ninevelove adalah novel fiksi bergenre romance yang pertama kali ditulis oleh J.S. Khairen. Menurut informasi yang beredar, novel ini sebelum akhirnya diterbitkan, awalnya hanya ada satu yaitu hanya dicetak untuk sang mantan kekasih, maka dari itulah tagline novel ini “Hanya untuk satu orang. Hanya untuk kamu.”
Ninevelove mengisahkan kisah cinta segitiga yang menurut saya justru bisa dibilang kisah cinta segi banyak yang seolah seperti benang kusut, perlu kesabaran untuk dapat menguraikan benang kusut tersebut agar menjadi benang yang tergulung rapi. Tema sentral yang diangkat oleh penulis adalah romance dan persahabatan. Novel ini jika dilihat dari sinopsisnya menggambarkan kisah benci jadi cinta, tetapi jalan cerita yang disajikan oleh penulis tidak sesederhana itu, banyak aspek kehidupan lain yang disinggung di dalam novel ini.
Penulis sebagian besar menggunakan alur maju, hanya sedikit menggunakan alur mundur, itupun hanya sebagai penguat dari karakter tokoh cerita. Sudut pandang yang digunakan oleh penulis yaitu sudut pandang orang ketiga serba tahu. Tokoh utama di novel ini ada 3 orang yaitu Dewi, Joven, dan Guruh, masing-masing tokoh diberikan ruang untuk bercerita dari sudut pandang mereka masing-masing, pembagian porsi cerita seperti ini membuat pembaca dapat lebih mengenal sosok dan karakter dari masing-masing tokoh, emosi yang dirasakan oleh para tokoh pun akan berhasil pembaca rasakan. Selain itu, penulis juga secara jelas menuliskan PoV (Point of View) siapa yang sedang digunakan, sehingga pembaca tidak akan mengalami kebingungan. Sudut pandang seperti ini menjadi salah satu kelebihan dari novel ini, pembaca tidak akan mudah melupakan isi dari novel ini karena pernulis berhasil menciptakan karakter tokoh yang kuat sehingga melekat di hati pembaca.
Tokoh utama terbagi menjadi 3 orang, yaitu; Dewi digambarkan sebagai seorang mahasiswi perantau yang sederhana, berkepribadian kuat, dan pantang menyerah, Dewi berasal dari Jawa Tengah, dan memiliki logat Jawa yang khas, yang terasa setiap dirinya bercakap-cakap dengan ibunya. Joven digambarkan sebagai seorang laki-laki yang sedikit nyeleneh, anak band dan jurnalis junior handal, berkepribadian santai, dan asli keturunan Minang. Sedangkan, Guruh digambarkan sebagai sosok mahasiswa yang bertolak belakang dengan Joven, sangat terorganisir, disiplin, dan pintar, siapapun akan mudah jatuh hati dengan kepribadian Guruh, termasuk Dewi. Selain, tiga tokoh utama tersebut, banyak juga tokoh-tokoh lainnya seperti Dinda, Glenny, Riando, Rieska, Wira, dan lainnya. Tokoh-tokoh ini memberikan warna tersendiri di dalam cerita, dan berhasil mempertahankan karakter serta ciri khasnya masing-masing, sehingga membuat suasana persahabatan semakin terasa kuat.
Novel ini tidak hanya terfokus pada romansa dari ketiga tokoh utama saja, novel ini juga berhasil menyajikan kehidupan para aktivis kampus yang bergelut di dunia jurnalistik yaitu organisasi Tinta Kampus. Pembaca diajak untuk mengikuti perkembangan Tinta Kampus dibawah tiga era kepemimpinan, pembaca juga diajak untuk ikut merasakan proses musyawarah pemilihan ketua Tinta Kampus.
“Kami adalah sutradara kampus, kalau hari ini kami menuliskan sesuatu, hari itu juga kampus akan heboh. Esoknya, media nasional yang akan heboh.” (Halaman 133 - 134)

“Tinta kampus itu bak segerombolan merpati jinak-jinak liar. Kadang jinak, kadang liar.” (Halaman 134)

Selain itu, persahabatan yang terjadi diantara Joven, Guruh, dan Wira pun menjadi hal yang asyik untuk diikuti. Pada suatu hari, mereka bertiga memutuskan untuk naik gunung, Joven dan Wira yang sudah terbiasa tidak mengalami kesulitan dalam hal persiapan, sedangkan naik gunung menjadi hal baru bagi Guruh. Pada bagian ini, penulis sepertinya ingin menyampaikan kepada pembaca bahwa naik gunung membutuhkan persiapan yang matang dan alat-alat yang mendukung, bukan hanya untuk mengikuti trend dan berfoto-foto saja. Banyak sindiran-sindiran halus yang disampaikan penulis untuk para pendaki gunung yang hanya sekedar mengikuti trend saja.
“Alam mempersatukan mereka bak saudara. Mungkin sedikit pengecualian bagi mereka yang naik gunung hanya untuk foto-foto dan buang sampah. Golongan yang ini, dipersatukan oleh rasa ingin narsis dan haus pengakuan bahwa mereka bisa naik gunung.”(Guruh, Halaman 260)

“Oh iya, sepanjang perjalanan tadi, tak satu pun aku melihat pendaki yang memakai jeans seperti di kisah anak muda inspiratif yang naik Mahameru itu. Apalagi wanita yang memakai make-up, tidak ada.”(Guruh, Halaman 267)

Ketika ketiga lelaki itu berkumpul, dan lantas membicarakan perihal masalah hati, itu adalah hal yang paling absurd dan canggung untuk mereka bahas, berbeda sekali dengan kaum wanita. Tetapi, percakapan mereka perihal hati justru menjadi hal yang unik untuk disimak, penulis menyajikan gambaran galau versi kaum lelaki. Banyak hal yang mereka bahas selama di gunung, tetapi mereka memiliki sebuah prinsip, yaitu;
“Gunung adalah tempat paling tepat untuk menceritakan segala kegundahan dan masalah yang lo temui di dunia bawah sana. Apa yang terjadi, apa yang dibagi, dan apa yang didengarkan dari teman lo di atas gunung, harus tertinggal di gunung. Semuanya, selesai di sini. Tidak boleh lagi bahas masalah apa pun yang sudah kita selesaikan di atas sini.”

(Joven, Halaman 270)


Menurut pendapat saya, ada beberapa kelemahan di novel ini, yaitu; Pertama, ada di bagian akhir cerita. Ah, saya berharap penulis bisa memberikan kesan akhir cerita yang lebih kuat untuk semua tokoh yang ada di dalam novel, meskipun demikian, secara keseluruhan saya tetap sangat menyukai jalan cerita di novel ini. Kedua, di bagian awal cerita, saya sebenarnya hampir berhenti membaca novel ini di bab pertama, karena saya tidak berhasil memposisikan diri sebagai Dewi yang tanpa alasan sudah langsung membenci Joven, tetapi saya tidak menyerah, saya mencoba bertahan dan mengabaikan hal tersebut, dan hal ini terbukti, saya mulai asyik dan berhasil menemukan tempo ceritanya pada saat bagian Joven dan bagian-bagian selanjutnya, hingga tidak terasa berhasil menuntaskan novel ini hingga akhir. Dan ada juga beberapa kalimat yang salah ketik (typo).
“… disiplin kita jari tercoreng di mata …” (Halaman 148)

“… Males banget dengerin curhatan sesame cowok. …” 
(Halaman 242)

“ … cahaya bernama harapan telah pudur dari matanya. …” (Halaman 250)

Terlepas dari kelemahannya, saya sangat menyukai isi novel ini. Penulis berhasil memberikan paket lengkap untuk pembaca. Mengajak pembaca menyelami kisah cinta dan persahabatan dari tokoh utamanya, mengajak pembaca untuk memikirkan kembali mengenai hakikat dan tujuan dari mendaki gunung, serta hakikat dan peranan pers di masa sekarang ini. Kata-kata mutiara, sajak, dan puisi yang ditulis di dalam novel ini memberikan kesan tambahan bagi saya, selain itu penulis juga banyak menyampaikan kalimat yang berisi sindiran halus dan kritik di dalam novel ini.
“Wartawan adalah ujung tombak perubahan. Kalau wartawannya asal-asalan, hancurlah segalanya. Seperti bangsa ini sekarang. Isu digiring bak bola beten. Ditendang sedikit, memantulnya ke mana-mana.” (Halaman 39)
 
“Menulis adalah mengungkapkan kebenaran. Di dunia ini kejujuran sudah langka dan mahal harganya. Tapi, kita masih punya pena dan kertas untuk merekam semua kegelisahan dan kegundahan dalam sebuah tulisan.” (halaman 47)


“Gue gak pernah diberikan kesempatan untuk mengokang senjata, tiba-tiba aja gue ditembak selongsong peluru dari segala arah. Gue tahu, gue akan kalah juga. Meskipun ada sebagian yang mendukung gue. Tapi gue gak pernah menyerah.” (Halaman 248)
  
Jadi, untuk teman-teman yang ingin bernostalgia dengan kenangan masa lalunya, mau belajar melepaskan masa lalunya, atau ingin bernostalgia dengan kehidupan kampus, saya sarankan untuk membaca novel ini. Maka, kamu sekalian akan tersihir oleh kalimat-kalimat puitis yang ada di novel ini.
“Perempuan itu memang begitu, harus terbiasa menunggu. Jadi, tunggu saja. Kalau memang jodoh, nanti pasti dia sadar ..." (halaman 26)


“Aku berjalan di janjimu. Jika aku terjatuh, bukan engkau yang salah. Tapi aku. Karena aku menikmati tersesat di janji itu.” (Halaman 34)

“Aku mengenal banyak lembah dan gunung dan menaklukkannya, tapi aku lumpuh ketika kau datang.” 
(Halaman 80)

“Hati wanita adalah palung laut terdalam dan memiliki banyak misteri. Satu kastil yang telah Ia bangun sekuat tenaga untuk menyamankan hatinya sendiri, hancur hanya dengan satu pendapat orang tak bertuan.” (halaman 300)


Selamat Membaca!
Hati – Hati Baper :D

Tidak ada komentar:

Posting Komentar