[Identitas
Buku]
Judul Buku : Tentang Kamu
Penulis : Tere Liye
Editor : Triana Rahmawati
Penerbit : Republika Penerbit
Cetakan : Cetakan Ke-1
Tahun Terbit : Oktober 2016
Halaman : 524 halaman
ISBN : 978-602-08-2234-1
Harga : Rp. 79.000,- (sebelum diskon di http://bukurepublika.id/products/detail/279/Tentang-Kamu)
My Rating : 5 / 5 *
*****
[Resensi]
“Apa harta yang akan dibawa mati
saat kita meninggal?”
Zaman menjawab pendek, “Tidak ada,
Sir, selain apa-apa yang kita belanjakan untuk kebaikan. Sisanya akan
ditinggalkan, bahkan diperebutkan.” (Hal. 430)
Zaman
Zulkarnaen adalah seorang pengacara di firma hukum Thompson & Co. Firma
hukum ini berada di bidang heir hunters,
yaitu firma hukum yang secara khusus menangani masalah harta yang ditinggalkan
tanpa wasiat. Heir hunters lebih
mirip detektif meskipun mereka seorang lawyer,
karena mereka bertugas untuk mencari ahli waris yang tepat dari harta yang
ditinggalkan, yang kemudian akan memberikan penyelesaian terhadap harta waris
tersebut dengan seadil-adilnya.
Hari
itu, Zaman tidak menyangka jika dirinya mendapatkan sebuah tugas unik sekaligus
memusingkan, bagaimana tidak unik, jika kliennya ini meninggal di sebuah panti
jompo di Paris, terlihat biasa saja bukan?. Namun, pada kenyataannya kliennya
ini mewariskan aset berbentuk kepemilikan saham senilai satu miliar
poundsterling, atau setara 19 triliun rupiah. Dengan warisan sebanyak itu, dia
lebih kaya dari ratu Inggris. Lalu, mengapa justru Ia berakhir di sebuah panti
jompo sederhana di kota Paris? Dan yang menjadikan kasus ini menjadi sangat
unik untuk Zaman adalah kenyataan bahwa kliennya merupakan orang Indonesia,
negara asal Zaman. Sedangkan, fakta yang membuat Zaman pusing adalah kenyataan
bahwa sang klien tidak meninggalkan surat wasiat kepada Thompson & Co.
“… Firma hukum
kita hanya menyimpan surat keterangan jika wanita tua ini adalah pemilik sah 1%
surat saham di perusahaan besar. Surat keterangan itu dititipkan beberapa tahun
lalu oleh pihak ketiga, melalui pos. … Thompson & Co. diberikan mandat
untuk menyelesaikan harta warisan wanita tua ini seadil-adilnya sesuai hukum
yang berlaku.” (Hal. 13)
Wanita
tua itu bernama Sri Ningsih, dia lah yang menjadi tokoh utama di novel ini,
melalui tokoh Zaman pembaca akan diajak menelusuri kehidupan Sri Ningsih dalam
rangka mencari siapa ahli waris yang berhak mendapatkan harta tersebut. Zaman
rela menelusuri jejak kehidupan Sri Ningsih ke berbagai negara dan wilayah,
mendengarkan setiap cerita kehidupan yang dilalui oleh Sri Ningsih dari
orang-orang yang mengenalnya. Petunjuk yang dimiliki oleh Zaman hanyalah buku diary tipis yang Ia dapatkan dari Madame Aimee, yang merupakan seorang
petugas panti tempat Sri Ningsih menghembuskan nafas terakhirnya.
“… Buku catatan
ini sederhana. Hanya ada sepuluh halaman yang berisi tulisan, dibagi menjadi
lima bagian, masing-masing dua halaman. Setiap bagian hanya ada satu-dua paragraf
pendek, beserta satu-dua foto yang ditempelkan di halaman bagian itu. …” (Hal.
48)
Zaman
pun berpacu dengan waktu, Ia harus segera menemukan ahli waris harta Sri
Ningsih, karena jika tidak berhasil, harta tersebut akan diambil alih oleh lembaga
pemerintah Bona Vacantia. Meskipun begitu, Ia tidak boleh ceroboh, Ia harus
menelusuri kehidupan Sri Ningsih agar bisa mendapatkan petujuk mengenai asal
usul harta warisan tersebut. Sri Ningsih telah mempercayai firma hukum Thompson
& Co., oleh sebab itulah Zaman tidak boleh mengecewakannya.
“Aku harus
mengingatkan, firma hukum ini berbeda dengan ribuan firma hukum lainnya. Ayahku
mendirikan firma ini dengan prinsip-prinsip yang kokoh. Penuh kehormatan. Kita
adalah kesatria hukum, berdiri tegak di atas nilai-nilai luhur. Kamu akan
memastikan wanita tua yang malang itu mendapatkan penyelesaian warisan seadil
mungkin menurut hukum. Dia akan beristirahat dengan tenang jika tahu harta warisannya
telah diselesaikan dengan baik, tidak berakhir di Bona Vacantia, atau lebih
serius lagi, jatuh kepada penipu.” (Hal. 14)
Perjalanan
Zaman pun dimulai, dari panti jompo di kota Paris, kemudian Zaman mendatangi Pulau Bungin di Sumbawa, menyaksikan cerita kekejaman pemberontakan PKI di Surakarta,
mencari jejak usaha Sri Ningsih di Jakarta, mendengarkan cerita cinta Sri
Ningsih di London, dan kembali lagi ke Paris. Perjalanan yang sangat panjang
dan menguras emosi Zaman, meskipun Ia belum pernah bertemu dengan Sri Ningsih
secara langsung, tetapi menelusuri jejak kehidupannya membuatnya seolah ikut
merasakan perjuangan hidup Sri Ningsih, dan Ia pun berusaha sebanyak mungkin
mengambil pelajaran kehidupan yang telah dilalui oleh Sri Ningsih. Bagaimana
petualangan Zaman dalam memecahkan kasus ini? Dan pada akhirnya, siapakah yang
berhak mendapatkan harta warisan Sri Ningsih tersebut? Selamat Membaca! : ))
*****
Cover novel ini sangat sederhana, hanya ada gambar sepasang sepatu yang telah
terlihat agak usang. Sebelum novelnya
terbit, Tere Liye membuat sebuah survey
di halaman facebook nya mengenai
pemilihan cover untuk novel tentang
kamu, dan hasil terbanyak memilih gambar sepatu, yang kemudian dijadikanlah
cover depan untuk novel ini. Menurut
saya, gambar sepatu cukup untuk mewakili jalan cerita di novel ini, yaitu
tentang perjalanan hidup sang tokoh utamanya. Selain itu, warna cover nya termasuk netral, sehingga
untuk pembaca laki-laki yang ingin membaca novel ini di tempat umum tidak akan
merasa sungkan atau malu.
Di
novel ini Tere Liye mencoba menampilkan beragam bahasa, menyesuaikan dengan
latar tempat ceritanya. Meskipun hanya sedikit, tetapi beberapa bagian menurut
saya berhasil mengajak pembaca untuk mengikuti dialog tokoh-tokohnya. Terutama
dibagian penggunaan bahasa Betawi dan beberapa kalimat sapaan dalam bahasa
India yang dilakukan oleh keluarga Rajendra Khan, seperti Aabu, Aami, Baihan, Choti, dan lainnya.
“Iya. Aye ingat banget, Februari tahun 1970, banjir sampe dua meter di Sudirman ama jembatan Semanggi. Bayangin, dua
meter. Kita bisa nyelam di banjiran, … ” (Hal. 223)
“Baihan, apakah aku boleh main ke sini? … Di bawah kadang terlalu
ramai, apalagi kalau Bhai Rajendra
ada, dia selalu menggangguku.” (Hal. 329)
Sudut pandang yang digunakan adalah
sudut pandang orang ketiga. Sudut pandang jenis ini membuat pembaca dapat lebih
mengenal dan mendalami karakter tokoh Sri Ningsih. Membaca novel ini seperti
sedang menyimak narasi yang disampaikan
oleh Zaman tentang episode demi episode hidup Sri Ningsih, dan seolah-olah
membuat pembaca sedang menikmati cerita di dalam cerita. Pembaca juga akan
menjadi saksi betapa gigihnya Zaman dalam menelusuri jejak kehidupan Sri
Ningsih. Pokoknya asyik dan seru.
Novel ini memiliki banyak tokoh dengan
berbagai karakteristik, karena memang penggunaan latar tempat yang banyak.
Tokoh-tokoh tersebut diperlukan untuk mendukung jalannya cerita, setiap tokoh
yang muncul memiliki peranan yang cukup berarti, dan membekas di hati pembaca,
di dalam novel ini tidak ada tokoh yang tidak memiliki peran penting, bahkan
penjual makanan di kios tempat biasa Zaman membeli roti daging pun memiliki
benang merah terhadap kasus yang sedang diselesaikannya. Penokohan yang banyak
memang sudah menjadi ciri khas novel-novel Tere Liye.
Novel ini termasuk ke dalam genre apa? Ah, Tere Liye saja bingung
ketika mendapatkan pertanyaan seperti ini, apalagi saya :D. Novel ini termasuk
paket komplit, ada tentang hukumnya, action,
sejarah, dan tentunya juga romance.
Saya setuju dengan Tere Liye yang mengatakan bahwa novel ini termasuk jenis
novel biografi, meskipun tokohnya fiksi.
Novel ini berhasil menyuguhkan biografi Sri Ningsih dari lahir hingga
meninggal dunia. Naah, tapi tenang saja, meskipun tebal dan sejenis biografi,
pembaca tidak perlu takut bosan karena alurnya yang cepat dan jalan cerita yang
menjanjikan membuat pembaca tidak sabar untuk dapat menyelesaikan novel ini.
Novel ini menggunakan alur maju –
mundur, sebagian besar menggunakan alur mundur untuk mengenang kisah tentang
Sri Ningsih, sedangkan penggunaan alur maju digunakan untuk tokoh Zaman dalam
menyelesaikan perkara harta warisan Sri Ningsih. Alur novel ini menyajikan lima
bagian kehidupan Sri Ningsih yang ditulis berdasarkan waktu, yaitu Juz pertama
tentang kesabaran tahun 1946 – 1960, Juz kedua tentang persahabatan tahun 1961-1966,
Juz ketiga tentang keteguhan hati tahun 1967 – 1979, Juz keempat tentang cinta
tahun 1980 – 1999, dan Juz kelima tentang memeluk semua rasa sakit tahun 2000 -
… .
Oh iya, novel ini sesungguhnya
termasuk novel yang sangat serius karena alur di novel ini dibuat untuk dapat
bersinggungan dengan berbagai peristiwa penting dan bersejarah, seperti
pemberontakan PKI, peristiwa Malari, dan millennium
bug. Tetapi jangan khawatir, meskipun bersinggungan dengan
peristiwa-peristiwa serius, novel ini tidak akan membosankan seperti saat
mendengarkan ceramah pada pelajaran sejarah :D, sebagai penulis novel fiksi,
Tere Liye berhasil menyatukan peristiwa sejarah tersebut ke dalam alur
ceritanya, sehingga selain menikmati alur ceritanya, pembaca pun mendapatkan banyak
manfaat dan informasi tambahan untuk dapat mengenal beberapa peristiwa sejarah.
“Tahun-tahun itu, tanpa Sri sadari,
gejolak politik tengah panas-panasnya di Pulau Jawa. Itu tinggal hitungan bulan
dari meletusnya pemberontakan besar akhir September 1965, saat kelompok yang
menamakan dirinya Partai Komunis Indonesia (PKI) berusaha habis-habisan
menyusun rencana mengambil-alih kekuasaan yang sah. …”. (Hal. 181)
Setelah diajak menyaksikan
pemberontakan PKI di Surakarta, pembaca selanjutnya akan diajak untuk
menyaksikan peristiwa Malari atau Malapetaka 15 Januari 1974 yang terjadi di
Jakarta. Peristiwa Malari ini dijelaskan melalui penuturan seorang tukang ojek
yang bernama Sueb saat Zaman sedang menelusuri kehidupan Sri Ningsih di
Jakarta, dan menggunakan sudut pandang Sueb yang pernah menyaksikan peristiwa
tersebut. Sueb memang tidak mengenal dan belum pernah bersinggungan langsung dengan kehidupan Sri Ningsih, tetapi penjelasan dari Sueb cukup
mewakili alasan mengapa pada tahun tersebut bisnis Sri Ningsih yang sedang
berkembang pesat harus mengalami kebangkrutan.
“Waktu itu, usia aye belum genap dua puluh tahun. Sedari
pagi ada kali ribuan orang pada
kumpul. Tambah siang, tambah banyak. Tentara ama polisi kagak sanggup ngadepin
mereka, dan kagak tahu siapa yang
mulai, keributan meletus di mana-mana. Orang-orang pada beringas, termasuk
maksa masuk pangkalan udara Halim ama Istana. … Orang-orang pada ngamuk,
ngerusak semua barang yang bermerk Jepang, mulai dari mobil, sepeda, motor,
sampai barang-barang elektronik, dibakar atau dilempar ke sungai. …”. (hal. 251
-252)
Peristiwa terakhir yaitu millennium bug yang dijadikan Tere Liye
sebagai akhir perjalanan Sri Ningsih di London dan menjadi awal perjalanannya
di Paris. Ah, Tere Liye ini benar-benar cerdas dalam menghubungkan satu
peristiwa sejarah dengan rangkaian peristiwa untuk tokoh di novelnya.
“Tahun 1999 tiba, dunia dihebohkan
oleh Y2K, masalah penanggalan komputer, millennium
bug. Eror yang terjadi karena sistem penanda tahun komputer di seluruh
dunia sudah terlanjur di-setting
dengan dua digit, maka tahun 00 (merujuk tahun 2000), akan dianggap sama dengan
1900 oleh komputer.” (Hal. 415)
“Persis tanggal 31 Desember, saat
seluruh dunia merayakan pesta tahun baru sekaligus millennium baru, Sri Ningsih
diam-diam meninggalkan apartemennya.” (Hal. 416)
Dan, ada satu hal lagi yang membuat
saya kembali terpesona dengan kemampuan menulis Tere Liye, yaitu mengenai
alasan mengapa Sri Ningsih harus kehilangan bayinya untuk kedua kalinya, alasan
yang digunakan sangatlah logis, yaitu menggunakan teori penggolongan darah
berdasarkan rhesus. Hal ini akan
membuat pembaca mendapatkan informasi baru mengenai salah satu resiko pernikahan
dengan perbedaan rhesus.
“… Saat istrinya
memiliki rhesus negatif, sedangkan suaminya rhesus positif, saat istri hamil,
bayi yang dikandungnya bisa dianggap benda asing. Tubuh ibunya menghasilkan
antibodi atau antirhesus yang menyerang bayinya sendiri.” (Hal. 403)
Oh iya, tetapi ada satu hal yang tidak
konsisten di novel ini, yaitu beberapa kali saya menemukan nama Sri Ningsih
ditulis menjadi Sri Rahayu, terutama di bagian-bagian awal, saat Ode sedang
menceritakan kisah Sri Ningsih di Pulau Bungin. Lumayan mengganggu sih
sebenarnya, tapi yasudahlah tidak mengapa, karena di dunia ini memang tidak ada
yang sempurna.
“… Dan sejak saat itu, Nusi Maratta
berubah amat membenci Sri Rahayu,
bahkan kemudian tega menyebut Sri dengan sebutan ‘anak kecil yang dikutuk’.” (Hal. 84)
“Hari itu, tahun 1995, usia Sri Rahayu menjelang sembilan
tahun, itulah terakhir kali Sri melihat bapaknya. …” (Hal. 96)
Buat
para pembaca yang penasaran, apakah ada cerita romance di dalam novel ini? Sepertinya novel ini serius sekali?
Tenang saja, tentu saja ada, bagian termanis dari hidup Sri Ningsih, yaitu
bagian Tentang Kamu. Kisah romance di
novel ini memang tidak terlalu banyak, tapi entah mengapa, justru buat saya
tetap terasa cukup dan sudah sangat sesuai dengan porsinya. Tere Liye memang
cukup kejam dalam menciptakan takdir untuk tokoh Sri Ningsih, tapi saya senang
saat membaca bagian Sri Ningsih akhirnya jatuh cinta, di bagian ini saya
merasa, akhirnya Tere Liye memberikan kesempatan Sri Ningsih untuk dapat
tersenyum malu-malu dan merasakan cinta di hidupnya. Untuk pembaca yang menyukai
cerita romance, saya rasa kalian perlu
membaca novel ini, dan kamu pasti akan jatuh cinta dengan sosok Hakan Karim.
Naah, sesungguhnya pesan apa sih yang
ingin disampaikan oleh Tere Liye melalui novel setebal 524 halaman ini? Menurut
saya banyak pesan yang ingin disampaikan oleh Tere Liye melalui novel ini,
diantaranya yaitu belajar tentang menghadapi dan memeluk semua rasa sakit hati,
kecewa, marah, kegagalan, dan seluruh kejadian-kejadian menyedihkan, lalu
berusaha untuk terus melangkah ke depan agar mendapatkan peluang-peluang hidup
yang lebih baik lagi, percayalah, di depan sana masih ada hal-hal baik yang
menunggu kesempatan untuk diraih. Oh iya, itu sih versi saya, untuk mendapatkan
pesan sesungguhnya kalian harus membaca dan menyelesaikan novel ini sendiri. :
)
Selamat membaca dan selamat berkenalan dengan Sri Ningsih yang amat sederhana :))
“Selama bapak
pergi, hormati dan patuhi ibumu. Lakukan apa yang dia suruh tanpa bertanya.
Turuti apa yang dia perintahkan tanpa membantah. Jangan mudah menangis, jangan
suka mengeluh… Bersabarlah dalam setiap perkara.” (Hal. 95)
“… Aku tidak
pernah melihat wanita sekokoh Sri Ningsih, yang bisa memeluk kejadian
semenyakitkan apa pun. Tidak membenci, tidak mendendam …. Hanya dia.” (Hal.
151)
“Aku tahu
sekarang, pertanyaan terpentingnya bukan berapa kali kita gagal, melainkan
berapa kali kita bangkit lagi, lagi, dan lagi setelah gagal tersebut. Jika kita
gagal 1000x, maka pastikan kita bangkit 1001x.” (Hal. 210)
“… Jadilah
seperti lilin, yang tidak pernah menyesal saat nyala api membakarmu. Jadilah
seperti air yang mengalir sabar. Jangan pernah takut memulai hal baru. …” (Hal.
278)
“Dalam
kehidupan, masa sekarang dan masa depan jauh lebih penting, karena masa lalu,
sehebat apa pun itu telah tertinggal di belakang.” (Hal. 375 – 376)
“Sungguh,
terimakasih untuk kesempatan mengenalmu, Sri. Itu adalah satu anugerah terbesar
dalam hidupku. Cinta memang tidak perlu ditemukan, cinta-lah yang akan
menemukan kita.” (Hal. 408)
“Karena pada
akhirnya, semua hal memang akan selesai, memiliki ujung kisah. Maka saat itu
berakhir, aku tidak akan menangis sedih, aku akan tersenyum bahagia karena
semua hal itu pernah terjadi.” (Hal. 409)
“Lanjutkan kisah
hidupmu, kamu akan memiliki petualangan hidup berikutnya yang lebih panjang.
Penuhi mimpi-mimpi lamamu, melihat dunia. …” (Hal. 409)
*****
*****
*Tulisan ini diikutkan dalam "Lomba Resensi Novel Tentang Kamu - Tere Liye" yang diadakan oleh Republika Penerbit.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar