Minggu, 26 Maret 2017

[Resensi Buku] Ayah…Kisah Buya Hamka – Irfan Hamka



[Identitas Buku]
Judul Buku    : Ayah… Kisah Buya Hamka
Penulis          : Irfan Hamka
Penerbit        : Republika Penerbit
Cetakan        : Cetakan XII
Tahun Terbit : September 2016
Halaman       : 324 halaman 
ISBN           : 978 - 602 – 8997 – 71 – 3
Harga           : Rp. 49.000,- (sebelum diskon di http://bukurepublika.id/products/detail/5/AyahKisah-Buya-Hamka)
My Rating     : 3.8 / 5 bintang 
****
[Blurb]
       Buku Ayah… memuat serangkaian kisah tentang Buya Hamka di mata anak kandungnya, Irfan Hamka, yang meliputi kehidupan masa kecil, remaja, dewasa, berkeluarga, hingga memiliki 12 orang anak; memulai jalan dakwah sebagai politisi, sastrawan, dan ulama; akidah dan pedoman hidup Buya Hamka; hubungan Buya Hamka dengan Masjid Agung Al-Azhar, Kebayoran Baru; bagaimana kehidupan Buya Hamka ketika istri tercintanya meninggal dunia; menghadapi fitnah, kebencian, dan penjara; jiwa yang pemaaf dan lapang dada; nasihat-nasihat Buya; Buya seorang sufi?; hingga saat Buya Hamka meninggal dunia.
 
      Semua kisah diceritakan dan dikemas dalam tulisan yang ringan, mengalir, dan sarat dengan pesan moral dan keteladanan.

       Pengantar dari Dr. Taufiq Ismail semakin melengkapi keindahan buku ini. 

****
[Resensi]

         Buya Hamka adalah salah satu putra terbaik yang dimiliki oleh bangsa ini, beliau adalah seorang ulama, sastrawan, aktivis kemerdekaan, dan juga seorang Ayah. Buya Hamka memiliki nama lengkap Haji Abdul Malik Karim Amrullah, beliau lahir di Maninjau, Sumatera Barat pada tanggal 17 Februari 1908 dan meninggal dunia pada tanggal 24 Juli 1981. Beliau secara formal hanya mengeyam pendidikan Sekolah Desa, itupun tidak tamat, meskipun begitu, beliau banyak menghabiskan waktunya dengan belajar sendiri dan banyak membaca buku, serta belajar langsung kepada para tokoh dan ulama, baik yang berada di Sumatera Barat, Jawa, bahkan sampai ke Mekkah, Arab Saudi.

        Ayah…Kisah Buya Hamka merupakan buku yang ditulis oleh Irfan Hamka, anak dari Buya Hamka. Buku ini menyajikan kisah Buya Hamka sebagai seorang ayah, menurut saya bukan hanya ayah untuk keluarganya, tetapi juga sebagai ayah bagi bangsa Indonesia. Buku ini menceritakan banyak hal, selain menceritakan sosok Buya Hamka yang memiliki kekuatan fisik dan pendirian yang teguh, ada banyak kisah lainnya, seperti kisah Buya yang berdamai dengan Jin, kucing kesayangannya, dan kisah perjalanan Buya menjelajah beberapa negara di Timur Tengah. Buku ini juga menyajikan kisah beberapa tokoh Indonesia seperti Ir.Soekarno, Moh.Yamin, dan Pramoedya Ananta Toer yang pernah memusuhi Buya, namun diakhir hayatnya justru sangat menginginkan kebaikan dari Buya. Buya memang memiliki sikap pemaaf yang sungguh luar biasa, beliau tidak memiliki dendam terhadap teman-teman seperjuangannya itu, dan mengabulkan semua keinginan mereka.

“Bila aku mati kelak, minta kesediaan Hamka untuk menjadi imam shalat jenazahku. Demikian kurang lebih pesan Soekarno kepada keluarganya.” (Hal. 256)

        Buya juga memiliki pendirian yang kuat, tegas dan tidak mudah goyah. Suatu ketika, beliau lebih memilih mundur dari Ketua Umum MUI Pusat daripada harus bernegoisasi mengenai aqidah.
“Kita sebagai ulama telah menjual diri kita kepada Allah semata. Ulama yang telah menjual diri kepada Allah, tidak bisa dijual lagi kepada pihak mana pun.” (hal. 255)

“Ulama ibarat kue Bika. Dari bawah dipanggang api, dari atas pun dibakar api. Begitu juga ulama, dari bawah oleh umat islam dan dari atas oleh Pemerintah.” (Hal. 255)

      Buku ini ditulis berdasarkan pengalaman penulisnya dalam membersamai kehidupan sang Ayah, membaca buku ini seolah seperti membaca lembaran demi lembaran surat kerinduan sang anak kepada sang Ayah, Irfan Hamka berhasil mengajak pembaca untuk lebih mengenal sosok Buya Hamka dari sisi kehidupannya yang lebih humanis yaitu sebagai seorang Ayah. Gaya penulisannya memang seperti menulis buku harian, bebas tanpa tekanan alur cerita, sehingga terkadang membuat saya bosan, ada baiknya jumlah percakapan di dalam buku ini ditambah sehingga pembaca tidak mudah jenuh, meskipun demikian, buku ini tetap layak untuk dibaca, karena di sinilah kamu akan menemukan transformasi perjalanan hidup seorang Buya Hamka bersama keluarganya hingga beliau meninggal dunia.
“... Pegangan hidup Ayah yang lain dalam menghadapi perjuangan hidup ini adalah niat karena Allah, nasi sabungkuih, dan tinju gadang ciek. Artinya, niat karena Allah harus diyakini, tidak terombang-ambing dengan niat yang lain. Kegiatan apapun yang kita lakukan, jangan lupa kesiapan logistik. Sekecil apapun, walau hanya sebungkus nasi. Dan yang terakhir, jangan pernah merasa takut, gentar, mudah menyerah. Itu diibaratkan dengan sebuah tinju yang besar”. (Hal. 242) 

Selamat Membaca! Nasihat-nasihat Buya Hamka tetap hidup dan layak untuk selalu dijadikan pelajaran dalam hidup kita! 😊

2 komentar:

  1. kalau saya membaca buku Buya Hamka sepertinya layaknya berhadapan dengan pembicara, Subhanallah, semoga pahala kebaikannya mengalir kepada beliau,Aamiin.

    BalasHapus