Kamis, 12 Juli 2012

Prolog SI Hidup - Sinta Ridwan - Berteman Dengan Kematian...


"Kata-kata 'Prolog si Hidup' di dapatkan dari mengutip Novel Berteman Dengan Kematian karya Sinta Ridwan... "

Hujan menyambut malam ini dengan syahdu, mengalun lembut, bernada seperti nyanyian bidadari di ujung senja. 
Angin mengalir ke sela jendela tak berkayu, masuk ke dalam ruang kosong yang gelap dan sunyi, lalu menusuk pori-pori kulit sang gadis yang meringkuk, semakin ringkih, dan membeku.
Di ujung kamar, tampak 2 malaikat sedang asyik berbincang sambil menikmati secangkir bintang.
Senyum keduanya seolah doa yang menghangatkan tubuh sang gadis bermuka pucat itu, yang sedang berselimut harapan agar tetap bersemangat menghadapi hari-harinya.
Dua malaikat selalu setia menemani dan memperhatikan setiap detak jantung si gadis itu.

Perjalanan Awal Bintang Senja…………
Awan sungguh indah saat dipayungi lembayung senja.
Kumandang adzan maghrib menjelang malam bergema di celah-celah bukit.
Tubuh gunung Manglayang seolah ikut bersujud saat aku menatapnya lewat daun pintu ketika jejak langkahku menuju air suci.
Basuh sekujur auratku meninggalkan butir-butir air yang membuka ingatan tentang arti sebuah hidup.
Membuka kenanganku akan proses pemaknaan seorang “aku” yang sedang menjalani hidupku.
Ketika kematian sudah tersusun rapi dalam dekapan sang waktu, hanya mampu menunggu rindu yang kian memuncak untuk meletus dan melelehkan penantian panjang seorang aku yang menumpang hirup udara di dunia ini.
Cakrawala senja pun merasuk kalbu saat air mata meneteskan doa.
Tiap bulir ayat terpanjatkan saat benak semakin memikirkan apa yang sudah aku perbuat. 
Memohon diberi waktu sedikit lagi untuk mengisi tiap detiknya dengan menyelesaikan tanggung jawab, tujuan hidup, dan doa-doa. 
Yakini diri agar semakin siap hadapi ujung jalan di dunia ini. 
Dunia yang telah memberiku beragam kegelapan dan pencerahan. 
Dunia yang patut disyukuri setelah mendapat kesempatan yang sudah dikirimkan lewat tangan malaikat untuk orang seperti ku. 
Sebuah diskon tambahan waktu untuk tetap hidup dan terus hidup.
Ketika ujian ditengah semester akan pelajaran pemahaman akar kehidupan, waktu telah dimulai dari setetes darah dan ketidak-sengajaan pertemuan di sebuah bangsal berlantai merah atau memang sudah waktunya datang demi kesadaranku. 
Bahwa waktu sudah siap menjemputku.
Atas kuasa pencipta alam semesta, telah diatur jalan hidupku untuk harus bertemu dengan orang-orang yang menjadi sangat berarti bagiku kelak.




Kelahiran senja dari kematian embun…
Perjalanan hidup adalah sebuah proses dan kematian adalah final.
Begitu pula kematian adalah jodoh yang pasti datang untuk mendampingi kita untuk melangkah di kehidupan yang baru.
Mempertaruhkan Kebahagian demi mimpi….
Bagaimanapun mimpiku, aku bersikeras tidak membuang mimpi itu ke dalam tong sampah kehidupan.
Mimpi dibuang dan hidup berjalan berdasarkan hanya demi uang.
Sungguh, kasihan sekali hidupku bila seperti itu.
Aku sangat mafhum hidup hanya satu kali.
Walau pada akhirnya aku akan hidup kembali dikehidupan yang akan datang.
Namun dalam kesempatan hidup saat ini, oleh pencipta, aku diharapkan mampu mempertahankan hidup yang benar-benar aku mimpikan.
Seandainya aku tidak memiliki mimpi, aku pasti sudah mati, beku dalam dunia semu.
Berkat mimpi, aku dapat melanjutkan perjalanan-perjalanan yang indah bagi hidupku.
Demi mimpi aku pertaruhkan kebahagiaan ku.
Demi mimpi pula aku yakin akan mencapai kebahagian yang tidak akan dirasakan oleh orang lain.

Hidup bak air sungai…………..
Aku.
Adalah perempuan yang sangat suka melukis dirinya sebagai seorang aku.
Ke-aku-anku itu adalah cerminan sosok yang arogan yang merasa bahwa menjadi diri sendiri adalah pilihan yang terbaik.
Aku menjadi sosok yang menyerupai patung laksmi.
Ketika waktu dikelilingi oleh kesunyian, kesendirian menjadi sempurna.
Aku benamkan keluhku pada pencipta yang tumbuh dalam tubuhku sendiri.
Aku melukis hidupku sebagai air sungai yang mengalir panjang.
Disetiap perjalanan, aku selalu menghantam batu sungai besar dan kerikil.
Namun sebagai makhluk hidup, sang air terus saja mengalir hingga muara, dan menemukan kebebasannya di samudera.

Ketika Mega mulai Menghitam………….
Apakah suatu hari nanti hidupku akan berguna unutk orang lain?
 Tarian samudera menantang hujan….
Seandainya aku menjadi perompak, aku ingin menjadi perompak yang mebagi-bagikan hasil rampokannya pada orang-orang yang kelaparan.
Seandainya aku mejadi samudera, aku ingin menjadi samudera yang terus menari dan menantang hujan agar mendatangiku sehingga para petani tertawa senang melihat tanahnya dihadiahi air yang penuh keberkahan.


Ribuan kilat membelah langit kelam….
Aku berharap awan-awan yang gelap itu menyingkir.
Kemudian muncullah langit biru.
Juga Sembilan matahari.
Dengan begitu aku bisa melihat jarak perjalanan hidupku yang membentang.
Dan mulai menghitungnya. 

Hujan pun basahi kalbu…
Seandainya langit kelam itu memanyungi tubuhku dan ribuan titik air hujan membasahi setiap helai rambutku.
Aku akan menanti pelangi datang sesudah hujan.
Membiarkan dunia ini basah oleh tangisan langit biru agar danau pun membiru oleh waktu.
Burung camar mengelilingi danau saat langit semakin kelabu.
Ia adalah harapan para ikan.
Bersama mereka, ku nanti pelangi diatas langit yang membiru lepas dari sendu.
Dan awanpun putih tak berdosa.

Senja pun terluka di kuta….
Aku ingin sekali lari ke hutan.
Berlari dan berlari dengan cepat.  Agar sel-sel pikiran yang ada dalam otakku ikut terbawa angin yang menghempaskan ku.
Aku ingin sekali menjatuhkan diri ke dalam samudera.  Agar bakteri – virus dalam darahku terangkat oleh asupan air laut yang biru dan hilang dikunyah mentari.
Aku ingin sekali membakar jantungku di atas api yang menyala menggebu didalam tungku.  Agar kesedihan dan kekecewaanku pada kehidupanku pada menguap dari lubang arteri.
Aku ingin melangkah diatas duri-duri ribuan mawar yang tergeletak di kebun.  Agar mereka menusuk kulitku yang membusuk dan menggantikannya dengan kulit kelopak mawar yang indah dan harum.
Aku ingin merasakan mati.  Agar aku dapat menghargai hidup ini.
Dan menghidupi hidup seperti Dewa Siwa yang selalu mengirimkan doanya kepada benda-benda yang sudah hancur agar dapat hidup dan terus hidup.
Demikian hidupku, harus hidup.

Dunia diselimuti air mata langit……
Air mataku yang terakhir jatuh ke dalam lubang yang gelap dan berdinding duri. 
Ia merasa ratu kegelapan memeluknya, menciumnya, mencumbunya. 
Sesak oleh belaian tangan berkuku parang. 
Ia terus melewati lorong yang dicahayai oleh amarah dan dendam. 
Hingga muncul dari mulut gua kesepian menuju samudera. 
Lalu terpeleset, ia menghantam karang dosa hingga semuanya menjadi gelap. 
Ia kembali diselimuti duka. 
Sehingga tak dapat melihat bidadari dari pulau Dewi.

 
Menunggu hujan lara reda…..
Aku berlari kearah kelam lalu bertemu awan hitam.
Aku menyapa keheningan dan bersiul penuh debu.
Kelam menggaris malam.
Awan hitam bermain duka.
Keheningan menggali sunyi.
Deru menguliti hati.
Darah di ujung arteri menunggu instruksi tulang.
Sel-sel diluar kendali. Kemudi diserang antibody.

Aku melirik kelam.  Kelam yang menghantam sel.
Hening semakin diam.
Imun melekat darah.  Malam semakin dalam.
Air mata melirih duka. Menerawang pada kemudi.
Putar balik arah.  Atau terus perang !!
Melawan arus kehidupan.

“Aku melayang diatas awan.
Manahan nafas agar tak goyang dan lepas kendali.
Aku biarkan waktu dan angin menerbangkan tubuh ini.
Agar semakin berangan dan menggapai mimpi.
Menembus atmosfir pelangi.
Semua atas dasar pilihanku. Hidup harus hidup. Atau mati ditinggal bintang.
Diam dalam kebekuan.
Awalnya aku selalu berharap, pada bintang-bintang dan ibu para awan.
Bila malam tiba, aku ingin mereka datang menemaniku.
Tapi bulan selalu menghalangi mereka. Lalu ketakutan tiba. Seolah air keruh yang tidak bisa pulang ke riak lautan.
Semangatku tinggalkan angan. Sehingga aku selalu berangan pada bintang dan bermimpi menggapai angan-angan yang sedang terbang.
Bahwa suatu saat nanti dia pasti datang memenuhi mimpi-mimpi ku.
Aku suka berangan-angan dan bermimpi. 

Balon terbang meyapa langit biru……
Mimpiku seperti balon terbang yang melayang satu per satu.
Harapanku seolah kabur dan menjauh.
Rumput-rumput merubah warna kulitnya menjadi kelam.
Matahari pun enggan tersenyum.
Puisi-puisi cinta meleleh karena karma.
Tak ada satu pun yang sanggup membangunkanku.
Aku brmimpi hidupku kelak, menjadi kosong tak bertaun.
“Sebuah meja menghadap jendela.
Kaca jendela melukiskan keangungan. Kekokohan gunung Manglayang dan barisan bukit berderet rapih.
Setiap pagi mentari muncul dibalik bukit. Aku duduk dan menatap kemilaunya.
Menaruh kehidupan di gelas panjang.
Beberapa rumput dan bunga liar pun bila disimpan dalam vas akan terlihat sungguh indah. Begitu juga hidup. Bila beberapa harapan dan segelas air bening disimpan dalam hidup, mereka akan mengusir kehampaan. Mewarnai kehidupan.
Rumput liar bagai semangat hidup. Semakin diinjak semakin hijau.
Seperti hidup yang harus dihidupkan.
Diwarnai oleh pelangi menggapai kebahagiaan. Tanpa haru biru yang mendendam Tuhan.
Syukuri bahwa Ia telah ikut mewarnai hidup kita.
Beruntunglah kita sudah dapat menghadapi dunia.
Dan perjuangan tak boleh berhenti sampai disini saja.”

Kebahagian diujung senja…
Seperti ungkapan seorang filsuf local, matilah sebelum mati.
Rasakan kematian itu dan aku akan lebih menghargai sisa hidupku.  Mau mewarnai hidupku.
Dan merasa harus meneruskan hidupku hingga tiba waktunya. Terbang ke langit ketujuh.
Hidup harus hidup.

Warnai hidup dengan pelangi……….
Bahagia adalah obat.
Siapa yang tidak ingin bahagia?
Tujuan hidup ini adalah mencapai puncak kebahagian hingga pada akhirnya melepaskan semuanya.
Menjadi tidak punya apa-apa.  Lalu kosong.
Bahagia itu relative.
Masing-masing pemikiran manusia tentang bahagia pasti bebeda-beda.  Tidak akan ada yang sama.
Entah itu bahagia karena banyak uang, kedudukan social yang tinggi di masyarakat, sampai bahagia karena mencintai dan dicintai.
Lalu apa arti bahagia menurut hatimu yang paling dalam?
Hanya kamu dan alam yang tahu.


Untuk terus hidup semacam epilog..
Adakah yang lebih indah dari kematian?
Apakah ada manusia yang terobsesi pada mati?
Adakah yang mau berteman dengan kematian?
Apakah ada yang ingin menyelam di laut mati ?

>> Baca deh novel ini, maknanya begitu dalam.. Perjuangan hidup seorang penderita Lupus.... [R]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar